Monday, March 10, 2008

kepada anak yang sedang tidur

Tidur, anakku, akan kubacakan sepucuk surat ke dalam mimpimu. Sebab tahukah kau apa yang saya pikirkan di samping tempat tidurmu? Tahukah kau apa yang ingin saya katakan, setelah kau lelap, dan lampu padam di kamar ini, dan nyamuk mulai terdengar desingnya?

Sebenarnya kau tak usah tahu. Tapi kelak kau mungkin perlu mengetahui isi kepala seorang orang tua. Persisnya, isi kepala seorang orang tua di tahun 1979. Karena itulah saya bacakan surat ini, ke dalam mimpimu.
Saya memang sedikit malu untuk mengakui: isi surat ini tidak sederhana. “Tidak sederhana” bukan dalam arti muluk, melainkan rumit. Setiap kali matamu terpejam, menyiapkan seluruh tubuhmu untuk sekolah esok pagi, selalu datang pertanyaan kepada saya: “Apa sebenarnya rencana Tuhan dengan dirimu? Apa sebabnya pada suatu hari sepuluh tahun yang lewat kau dititipkanNya kepadaku – hingga saya tersentak, bahagia seperti ibumu, tapi juga agak cemas?”
“Setiap anak,” kata Tagore, “tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.” Mungkin demikian. Namun di tanah air Tagore kini konon 11 juta bayi dilahirkan setiap tahun. Itu berarti tiap hari lebih dari 30.000 nyawa. Tiap menit lebih dari 20 anak. Dan kita tak tahu berapa lagi di negeri Cina – ditambah yang di Indonesia. Dengan statistik sekencang itu, benarkan Tuhan terus mengirimkan pesan yang sama?
Ada sebuah pengalaman yang selama ini tak pernah kuceritakan kepadamu: di suatu malam yang panas, saya berjalan di tepi Sungai Gangga. Di satu sudut tergolek seekor anjing kurus. Tak jauh dari sana terbaring makhluk yang lebih kurus lagi: seorang bocah gelandangan.
Penyair Tagore yang saya kutip tadi (ia selalu berbicara indah tentang kanak-kanak) mungkin belum pernah melihat ini. Mungkin itulah sebabnya ia selalu mengajukan pertanyaan yang aneh. Ia bertanya misalnya dalam satu puisi: “Siapa yang mencuri tidur dari pelupuk-pelupuk bayi?” Padahal di tepi Gangga itu pertanyaan yang penting ialah: “Siapa yang mencuri nasi dari perut anak ini …”
Tidak, anakku. Bukan aku mau mengganggu cerah mimpimu. Tapi mungkin yang “mencuri nasi” dari perut anak gelandangan itu adalah seorang bapak dari anak lain – mungkin aku. Di dunia yang penuh sesak dan penuh orang lapar, seorang yang kekenyangan berarti merenggutkan nyawa yang lain. (Jangan tanya dari mana kesimpulan itu kutarik. Itu cuma feeling).
Sementara itu, anakku, kian hari dunia kian penuh. Jumlah orang lapar tak berkurang, meskipun orang kenyang bertambah. Jumlah kesempatan bertambah, meskipun kesempitan tak berkurang. Di suatu pagi di bulan Mei saya lihat orang-orang tua berduyun-duyun antre untuk mendaftarkan anak mereka masuk Taman Kanak-Kanak. Tak semuanya dapat tempat. Tak semuanya mampu untuk dapat sebuah kursi, sepotong ruang, secercah perhatian ibu guru. Kau beruntung sudah melewati masa itu. Tapi kelak – untuk SMP, untuk SMA, untuk Universitas, untuk lapangan kerja … Apa sebenarnya rencana Tuhan dengan dirimu?
Tentu, kau sendiri tak akan bisa menjawabnya.
Seharusnya saya menanyakan hal itu kepada Tuhan sendiri. Tapi itulah repotnya: tak mudah memperoleh jawab dari sana. Barangkali karena saya, ayahmu, seorang pesimis dan Tuhan memang jarang berbicara kepada seorang pesimis.
Tapi pesemistiskah saya, ‘Nak, tentang dirimu? Aku sendiri tak tahu. Kemarin saya diam-diam bangga ketika kau berkata: “Pak, saya menyukai Bisma dan Gatutkaca” – dan dengan alasan yang entah dari mana kau dapat: “Karena Bisma rela menolak tahta untuk kebahagiaan ayahnya, dan karena Gatutkaca rela terbunuh – agar senjata sakti Karna itu tak dapat dipergunakan lagi.”
Itukah moral yang kau pilih, ‘Nak, pengorbanan diri di masa depan ketika orang kian berebutan? Aku ingin bilang: Jangan, Buyung. Tapi mungkin aku tak mengerti.
Maka lebih baik kuletakkan saja tanganku dirambutmu, dan berharap, “Datang dan duduklah dalam haribaan yang tak terbatas, anakku.”

Tuesday, July 18, 2006

Nidji, Dewa dan Blues Community

Malam sudah mendekati pukul 21.00 saat Siemen kecilku berbunyi. Di layarnya yang masih seri biru, temanku memanggil.
“Djeunk, lu udah tidur blum? Maen ke Hard Rock yuk,” ajaknya dari kejauhan. “Baliknya, gue nginap di tempat lu,” tambahnya lagi.
Ngga nyampe 15 menit. Siemen gue berdering lagi. “Gue udah di depan,” ujarnya mengabarkan.

Lalu, mulailah petualangan (musik) malam itu….

Sumpah, saat diajak ke Hard Rock, aku pikir cuma ngajak nongkrong biasa. Ngga taunya nonton konser Nidji dan Dewa. Dengan harga tiket Rp80 ribu perorang, kami (saat itu bertiga) disambut celotehan penyanyi Nidji.

Meski sudah mulai jadi band top, tapi aku ngga tahu siapa itu Nidji. (Apakah seperti makanan kaleng?) Tapi, lagu-lagu yang dibawakan terdengar enak (tapi tak membuatku mencari tahu siapa mereka dalam penjelajahan di internet). Musik yang mereka bawakan terdengar akrab. Namun bukan berciri khas Indonesia. Di daun telinga, aku seperti mendengar musik-musik khas Eropa. Inggris tepatnya.

Dengan enam personelnya, Nidji berhasil membuat suana ceria. Mereka tampil baik, meski aku tak mengenal siapapun di antara mereka. Yang jelas aku suka sekali. Hmmm, tapi tak terlalu ding… hehehehe.

Setelah berkutat dengan 5-8 lagu, Nidji berakhir. Kini Dewa yang tampil. Sayangnya, malam itu Dewa minus Tio yang sedang sakit. Once, si vokalis lalu memperkenalkan sebuah nama yang tak bisa kuingat. Namun, drummer pengganti Tio tersebut lumayan. Tapi dia freelance, soalnya dia drummer Erwin Gutawa.

Konser Dewa sendiri diawali dengan sebuah klip yang katanya Dani merupakan klip baru mereka yang akan diputar di Hard Rock seluruh dunia. Hmmm. Wow. Klip yang berjudul I Want to Break Free tersebut jauh dari sisi Dewa yang biasa tampil dengan lagu-lagu cinta. Musiknya cadas dan berat. Meski tak bisa dikatakan beraliran hardcore, namun musiknya lebih keras dari biasanya. Tapi, tetap saja suara Once terlalu tipis untuk musik sekeras itu.

Setelah itu, Siti Nurbaya didendangkan, kemudian Laskar Cinta dan bla-bla. Entah karena memang bukan Baladewa atau sekadar pengemarnya Dewa, aku ngga terlalu bergairah berjoget dan bernyanyi. Yang ada malah ngantuk. Teman yang ngajak ke sanapun malah duduk. “Kog jadi ngantuk yaah,” ujarnya. Lalu, sebelum konser Dewa usai, kami memutuskan pergi. Saat itu pukul 23.30. Cukup larut untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, ternyata aku ditawari nongkrong lagi. So…”Ya udah, gue ngikut aja,” kataku. Kamipun berputar-putar kota sambil mencari inspirasi, ke mana sisa malam akan dilewati. “Kita ke Wapress saja,” ujar temen yang laen. Karena belum tahu, akupun setuju.

Wapress merupakan sebuah kafé dan berada di bilangan Blok M Jakarta Selatan. Menepati di pinggir jalan, kafe ini sebenarnya tertutup dan terkesan seperti rumah biasa. Namun, begitu masuk ke dalamnya, sangat luar biasa. Kafe ini ternyata adalah kafenya tempatnya nongkrongnya pecinta blues music. Mereka adalah komunitas non profit. Untuk masuk kafe, tidak dikenakan bayaran. Pengunjung boleh memesan soft drink, atau tidak sama sekali.

Malam itu kami benar-benar beruntung. Yang maen adalah ikon blues-nya Indonesia. Rama namanya. Dia masih muda. Perkiraanku masih sekitar 25-30 tahun. Namun, dia dijadikan ikon musik blues, karena dia memang penggila blues. Awalnya, aku tidak tahu siapa dia. Namun cara dia memainkan gitar, terlihat dia adalah pemain kelas dunia. Duh, yang jelas habis melihat Nidji dan Dewa, bisa dikatakan dua grup band itu masih picisan.

Lalu yang hebatnya lagi, ternyata seluruh personel merupakan personel cabutan. Siapa yang bisa nyanyi silakan mau, mau maen drum, bass, keyboard, gitar tak ada yang larang. Kenapa dibilang hebat, soalnya mereka manggung tanpa latihan. Mereka berimprovisasi di atas panggung. Namun hasilnya luas biasa. World Class Music. Im Sure. Sebab, ngantuknya jadi ilang dan kami sangat menikmati pertujukkan itu.

Tak lama berselang, seorang lelaki yang agak gendut dan berambut grondrong, namun face mirip Rama masuk. ”Selamat datang Arya,” ujar MC membuat semua pengunjung mengalihkan perhatian. “Bagi yang belum tahu, Arya merupakan pemain keyboard blues terbaik. Dia pernah main bareng James Brown,” katanya. Haaaaah? James Brown kan salah satu ikon blues dunia. Geblek euy, im lucky to much. Very-very lucky. Not man happy like me last night.

Karena kelas dunia, permainan yang dibawakan juga sangat memukau. Permainan keybordnya sangat dasyat. Aku pikir Rama sudah Ok punya, tapi Arya lebih wooooow. Namun, perpaduan keduanya di atas panggung begitu…hmmmm, kalah deh konser yang gue tonton sebelumnya. Dari lagu-lagu blues yang dibawakan, hingga dentingan gitar, drum, bass dan keyboard seakan-akan menunjukkan mereka sudah lama bergabung. Nyatanya, mereka tidak latihan bareng. Sayang, karena harus bekerja, pukul 02.00 dini hari, kami sudahi pertunjukan hebat petualangan malam itu. Lalu, kamipun pulang.

Di dalam lancer yang membawa aku ke kos di Kedoya, aku diberitahu hal yang mengagetkan. Tenyata Rama dan Arya itu saudara kandung. Kaget meski mengaku wajar, sebab muka keduanya mirip. Menurut temenku tersebut, dengan beraliran musik blues, Rama plus seorang adiknya yang laen yang memukul drum, mereka membentuk sebuah grup musik. Namun, karena pasar blues di Indonesia sangat tidak meyakinkan, mereka rekaman dan menjual musik mereka di Paman Sam. “Memang, bapak mereka bule. Orang Amrik,” ujar temenku menjelaskan wajah Indo Rama dan Arya malam itu.

Lalu cerita soal Rama dan bandnya mengalir, mengalir dan mengalir. Sungguh aku tak puas dengan cerita tersebut. Aku sangat menikmati musik yang mereka bawakan. Aku, aku akan ke sana lagi, ke Wapress yang menjadi mangkalnya pencinta blues. ”Tapi, jarang-jarang Rama dan adiknya manggung. Satu tahun satu kalipun belum pasti,” info temenku lagi. Hmmmm…im lucky.

Andy
(Masih ngantuk akibat begadang semalam)

Dan Dia Memilih Menjadi Hamba

Suatu kali Rasulullah SAW yang Al Amin tersenyum menatap ke sebuah tempat yang kosong saat bersama-sama dengan para sahabatnya. Karena keheranan, para sahabat mulai bertanya. “Ada apa yang Rasulullah. Kenapa engkau tersenyum.”
Rasul menjawab, dia tersenyum melihat umat akhir jaman yang bersusah payah mengikuti miladnya.
Para sahabatpun bertanya lagi. “Bukankah kami juga mengikuti miladmu ya Rasulullah.”
“Benar, itu karena dekat denganku,” jawab Rasulullah.

* * *
Umat akhir jaman yang dimaksudkan Rasulullah tersebut adalah umat saat ini. Menurut Rasulullah, para sahabat cinta padanya karena para sahabat dekat dengan Rasul. Jika iman para sahabat berkurang, maka cukup dengan melihat Rasul saja, iman para sahabat akan meningkat kembali. Karena, wajarlah yang demikian.

Namun, umat akhir jaman tak melihat Rasul. Jadi wajar jika iman para umat akhir jaman turun naiknya drastis. Cuma yang membuat Rasul terkesan, meski umat akhir jaman tak melihat dirinya, ada sebagian umat akhir jaman yang mengikuti semua cara yang dilakukan Rasul yang disebut sunnah. Dari cara makan, berpakaian, tidur hingga dakwah.

Namun karena terpisah waktu yang jauh sekali dengan Rasul, tidak semua aktifitas Rasul diikuti 100 persen dengan benar. Memang terdapat kekurangan di sana sini. Tapi itu tak masalah, soalnya sunnah yang paling tertinggi warisan Rasul diikuti oleh mereka, yakni da’a ilallah. Yah, mengajak manusia untuk taat kepada Allah SWT.

Rasul SAW yang buta huruf yang lahir di abad keenam tersebut begitu dihormati sejak sebelum wahyu kenabian datang padanya. Dia disebut Al-amin (yang dipercaya) oleh setiap kabilah yang ada di Makkah saat itu. Julukan yang diberikan kepadanya itu bukan tanpa dasar, melainkan karena dia yang tak pernah berbohong sejak kecil dan selalu jujur dalam berkata apapun risikonya. Namun, saat wahyu kenabian datang, hampir semua orang di Makkah mendustakannya kecuali sahabatnya Abu Bakar yang mendapat julukan As Shiddiq (yang membenarkan).

Datangnya Islam ke penduduk paling jahiliah di muka bumi membawa efek besar dalam berkehidupan saat itu. Tradisi, ambisi dan ego yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam hidup masyarakat jahiliah dihilangkan diganti dengan budi pekerti dan saling memuliakan di antara sesama. Dan, tentu saja ada kelompok yang menolak dan ragu-ragu meski tak sedikit yang menerima.

Kebanyakan yang menolak adalah mereka yang memiliki ego di atas rata-rata. Mereka adalah kepala kabilah, orang kaya dan lain sebagainya. Sementara yang menerima termasuk memiliki ego di level bawah. Di antaranya budak-budak, kaum miskin dan mereka yang terbiasa bersenda gurau dengan nasib.

Amal saleh merupakan hal utama dalam Islam. Sedangkan kekuasaan adalah beban yang harus dipertanggungjawabkan di hari di mana seorang ibu akan lupa anak susuannya. Karena alasan ini, banyak kamu jahiliah menolak Islam. Mereka tak rela berbagi kekuasaan dengan yang papa. Mereka tak mau duduk sama tinggi dengan budak-budak mereka dan lain sebagainya.

Akhirnya, cemas dengan perkembangan Islam di Makkah, merekapun menawarkan ambisi dan ego mereka kepada Rasul SAW. “Ya Muhammad (Rasul SAW). Jika engkau ingin kaya, kami akan kumpulkan semua harta yang ada di Makkah, hingga engkau menjadi yang terkaya di antara kami. Jika engkau inginkan kedudukan, maka akan kami beri. Jika engkau inginkan wanita yang cantik, akan kami carikan. Tapi, tolong hentikan menghasut kami untuk memeluk Islam. Dan…, Rasul yang karim menolak.

***
Suatu hari saat sedang duduk bersama sahabat dan gurunya yang mulia, Jibril AS. Tiba-tiba malaikat penyampai pesan Allah STW tersebut terkejut menatap ke langit yang terbuka. Dari atas sana, turunlah seorang malaikat yang menurut Jibril belum pernah turun ke bumi sebelumnya kecuali ada hal yang mendesak.

Lalu, setelah memberi salam, malaikat tersebut mengatakan dia membawa pesan Allah yang Rahman dan Rahim kepada hambanya yang mulia, Muhammad SAW. “Ya Muhammad, aku diutus Allah untuk menyampaikan berita gembira kepadamu. Allah akan memberimu kedudukan, harta dan segala yang kau inginkan sementara kau tetap menjadi Nabi dan Utusan Allah,” ujar malaikat tersebut.

Tapi Rasul menolak dan memilih, tetap menjadi hamba…


Andy
(dari kumpulan Bayan para Syeih)

Wednesday, June 14, 2006

Sebutan Tiongkok, Tionghoa dan Cina?

Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lebih akhirnya turun panggung pada tahun 1998 Mei 21. Seiring dengan makin mendalamnya gerakan demokrasi dan reformasi, politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa di Indonesia juga mendapatkan perubahan. Berbagai partai politik, organisasi dan organ-media orang Tionghoa, berbondong-bondong mengajukan penggantian kembali sebutan Cina menjadi Tiongkok dan Tionghoa. Dan masalah tersebut telah menjadi perdebatan hangat di dalam masyarakat.
Sebenarnya yang mana lebih tepat, sebutan Tiongkok atau Cina? Sebutan Zhong Hua Ren Min Gong

He Guo menjadi Republik Rakyat Tiongkok atau Republik Rakyat Cina? Lalu, sebutan Keturunan Tionghoa atau Keturunan Cina bagi Hua Yi di Indonesia? Di mana makna Cina yang mengandung penghinaan itu sesungguhnya? Yang pasti, sebutan yang tepat terhadap satu negara, Tiongkok atau Cina adalah masalah kehormatan, begitu juga sebutan terhadap orang Hua di Indonesia menjadi orang Tionghoa atau orang Cina adalah masalah kehormatan bagi mereka. Tiongkok dan berbagai lapisan rakyat di Indonesia sangat memperhatikan masalah-masalah sensitif ini, masalah wajar yang terjadi dalam hubungan perasaan sesama manusia. Ijinkanlah saya mengajukan pendapat-pendapat pribadi saya mengenai masalah ini.

1. Asal-usul sebutan Tiongkok dan Cina.
Kalau kita usut sebutan Tiongkok dari dinasti Shang, di mana ketika itu daratan Tiongkok terpecah jadi banyak negara-negara atau kerajaan kecil, sebentar tunduk, sebentar menghianati kerajaan Shang. Ketika dinasti Shang menguasai wilayah di tengah-tengah kerajaan yang berada di sebelah Timur, Barat, Utara dan Selatan, maka negara kerajaan ini disebut Tiongkok (Zhong Guo dalam lafal bahasa daerah Hokian, yang juga berarti Negara-Tengah).

Sebenarnya, kalau diteliti lebih jauh, istilah Tiongkok sudah muncul di dalam Kumpulan Sajak-kuno jaman kerajaan Zhou. Kerajaan Zhou Barat menyatakan daratan dan kerajaan di tengah sebagai Tiongkok, yang merupakan daerah central dan pusat kebudayaan. Begitulah kemudian setelah makin bersatunya bangsa Tionghoa menggunakan sebutan Tiongkok sampai saat kini.

Sedangkan istilah China yang biasa disebutkan orang asing pada Tiongkok sebenarnya adalah netral saja. Sebagaimana penulis pernah menyatakan, jauh pada pertengahan abad 7, seorang Biksu Zheng (Pendeta Budha) ternama Tiongkok ke India Melawat Ke-Barat, menyatakan orang India menyebut Tiongkok sebagai Moko China. Di dalam Riwayat Biksu-Chi Shi juga tercatat dengan menjelaskan China sebagai Kebudayaan China.

Di dalam Kumpulan Istilah Terjemahan dari Song She Fa Wen, disebut: China sebagai satu negara budaya. Yang memuji negera tersebut sebagai tempat mendapatkan baju-pakaian. Hingga jaman kini, Biksu Sumansu berpendapat, Istilah China, bukan berasal dari bunyi dinasti Qin karena dalam sajak kuno India Mokoboroto sudah menyebutkan panggilan china itu. Berdasarkan buku dari India dimasa dinasti Boroto, yaitu di masa dinasti Shang di Tiongkok pada tahun 1400 sebelum Masehi sudah digunakan istilah China.

Dengan demikian jelas, bahwa China tidak ada hubungan dengan Qin, juga tidak mungkin lebih dahulu adanya jaman-porselen, baru muncul sebutan China sebagai Tiongkok. Sementara orang beranggapan China muncul dari istilah Jing yaitu Negara Chu. Pada saat jenderal Zhuang meresmikan dirinya sebagai raja Negara Chu diabad 4 Sebelum Masehi. Ketika itu di dalam tulisan-tulisan di India, Persia dan Eropa sudah muncul sebeutan China untuk Tiongkok. Sedangkan berdasarkan Encyclopedia terbitan terbaru, menyatakan China berasal dari bunyi Qin dinasti. Dan Encyclopedia ini secara sepintas menyatakan ucapan Biksu Zheng Yi

Jing dari dinasti Tang bahwa orang barat menyebutkan negara Tang sebagai China. Sementara pelajar di luar negeri juga tidak setuju menyatakan bahwa China berasal dari bunyi Qin dinasti. Pada saat ini sebutan dunia barat pada Tiongkok, sebagaimana seorang Profesor bahasa Latin menyatakan: istilah Zhong Guo di dalam bahasa Inggris menjadi China, bahasa Perancis menjadi Chine, bahasa Jerman menjadi China adalah perubahan dari bahasa latin Cina. Di Jepang, istilah China baru muncul sekitar pertengahan jaman Dinasti Ming. Di tahun 1895, Jepang dari Persetujuan MaKwan mendapatkan 200 juta gr Emas dan pulau Taiwan.

Ketika itu orang Jepang berteriak girang : Jepang menang! China kalah! Dengan demikian, sejak saat itu mulailah dari menghormati Tiongkok menjadi memandang rendah dan menghina. Dari peperangan itulah, Jepang menyebut Tiongkok yang semula Morokoshi Kara menjadi China. Tiongkok sebagai negara kalah perang didalam perang Tiongkok-Jepang (1894-1895). Dan sebagai penyelidik jalan menuju Negara perkasa, serombongan pemuda Tionghoa belajar ke Jepang. Di antara orang Tionghoa ketika itu, tidak sedikit yang merasa istilah negara Qingi mengandung arti negara asing menguasai Tiongkok, maka sangat membencinya. Misalnya, Liang Qi Chau dan Huang Xing adalah yang berpendapat demikian.

2. Tiongkok, Tionghoa dan Cina dalam sejarah Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia berasal dan berdasarkan bahasa Melayu. Di dalam karya sastra klasik bahasa Melayu, seperti Riwayat Hang Tuah dan Peringatan Melayu di abad 17 sudah menyebut Tiongkok sebagai Cina. Di sini tidak ada pengertian menghina, begitulah di Malaya dari dahulu sampai sekarang menyebut Tiongkok dengan Cina.

Sebelum abad 20, di Indonesia juga menyebut Cina pada Tiongkok. Seiring dengan perkembangan gerakan nasional Indonesia, ditahun 1900 orang Tionghoa di Indonesia mendirikan Tionghoa Hui Kwan. Dan ditahun itu juga membangun sekolah-sekolah Tionghoa. Pengenalan Hoakiao terhadap tanah leluhurnya makin dalam dan hubungannya juga makin rapat, dari sebelumnya menyebut Cina sebagai Zhong Guo, dan orang Cina sebagai orang Tiongkok, kemudian diubah menjadi Tiongkok untuk negara dan Tionghoa untuk sebutan orang.

Pada tahun 1897, perantau Jepang di Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan orang Eropa, ini tentunya sehubungan dengan kuatnya negara Jepang. Hal ini telah membangkitkan kesadaran nasioanal Huakiao. Tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda menentukan 3 tingkat warga dalam undang-undang kewarganegaraan: Warga klas-1 adalah orang Eropah (Termasuk orang Jepang); Warga klas-2 adalah orang asing Timur (Terutama orang Tionghoa) dan warga klas-3 adalah orang Indonesia, yang disebut pribumi. Inilah manifestasi politik Perpecahan yang dilakukan kolonial Belanda. Penguasa colonial

Belanda menggunakan istilah Cina untuk menghina para Huakiao, oleh karenanya membuat
mayoritas Huakiao sangat jengkel dengan sebutan tersebut. Sun Yat Sen pada tahun 1905 di Tokio mendirikan Perserikatan Tiongkok, yang menentukan program Pengguntingan kuncir, pemulihan Tionghoa, mendirikan nasion yang mempunyai hak sederajat. Dan ditahun 1911 dibawah pimpinan Sun Yat Sen, revolusi Sing-hai menggulingkan dinasti feodal Qing, mendirikan Republik Tiongkok, dan setelah itu Huakiao di Indonesia menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok, menggantikan istilah Cina dengan Tiongkok untuk sebutan negara dan Tionghoa untuk sebutan orang, sebagai satu sikap memperlakukan hasil kemenangan revolusi Rakyat Tiongkok.

Dengan demikian memastikan bahwa istilah Cina adalah bermakna penghinaan yang tidak seharusnya digunakan lagi. Anggaran dasar Tionghoa Hui Kwan pada tahun 1928 juga secara resmi merubah Cina jadi Tionghoa. Dan pada tahun itu juga, Gubernur Belanda juga secara resmi menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa. Sejak saat itu, tokoh-tokoh perjuangan nasionalis melawan penjajah Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo, Kihajar Dewantoro, Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno dll. Semua juga sudah menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa. Tidak lagi menggunakan istilah Cina.

Sejak Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan ditahun 1945 sampai sebelum peristiwa G30S 1965, pemerintah Indonesia tegas dalam pendirian ini. Termasuk press-media seluruhnya menggunakan Republik Rakyat Tiongkok, tidak satupun yang menggunakan Republik Rakyat Cina dan tidak menyatakan orang Tiongkok sebagai orang Cina.

Perlu ditekankan disini, pada saat pembukaan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia di tahun 1950, didalam dokomen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak juga menggunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, dan selanjutnya pihak pemerintah Indonesia dalam hubungan surat resmi juga menggunakan istilah Tiongkok untuk Zhong Guo dan Tionghoa untuk Zhong Hua, sebagai sebutan pada Zhong Guo untuk negara dan orang Tionghoa untuk orang Hua (Hua Ren).

Jadi jelas, setelah memasuki abad 20 ini, istilah Cina yang mengandung makna menghina itu sudah tidak digunakan lagi dan yang jelas sangat menyakiti hati para Huakiao itu bisa dimengerti secara baik oleh suku-suku lainnya. Perlu juga diingat, selama Puluhan tahun itu, Pemerintah Indonesia tetap saja selalu menyatakan mentaati Undang-Undang Dasar 1945. Sedang ayat-pertama Pasal 10 Warganegara, jelas menyatakan orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa, dan tidak menggunakan istilah Cina.

3. Pemerintah Soeharto mengganti Tiongkok dan Tionghoa jadi Cina.
Tak lama setelah meletus peristiwa G30S, di Indonesia terjadi arus anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Tidak hanya di suratkabar, bahkan di tembok kedutaan Tiongkok di Jakarta juga dicoret Ganyang Cina dll semboyan anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Seminar Angkatan Darat ke-2 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966 Agustus, wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan Seminar pada Suharto - pimpinan Kabinet menyatakan, “Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum di luar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior, kami melaporkan pada yang mulia, keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah Republik Rakyat Tjina (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan warga negara Tjina (ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan warga-nya”. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut adalah tepat. (Setelah penggunaan ejaan baru, Tjina berubah jadi Cina)

Bersamaan dengan itu, salah seorang peserta Seminar Letjen Soemitro, di depan pertemuan dengan wartawan mengumumkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Neokolonialisme salah satu Negara imperialis, yaitu Tjinkolim (Tjina Kolonialisme-imperialisme). 25 Juli 1967, Presidium Kabinet mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat untuk menggunakan istilah Cina sebagai ganti istilah Tiongkok dan Tionghoa. Presidum Kabinet setelah mempertimbangkan sejarah penggunaan istilah Cina¡ dan sebagai istilah yang disenangi rakyat Indonesia, menyatakan keputusan yang dianjurkan Seminar Angkatan Darat adalah tepat.

Kemudian juga dinyatakan, Pernyataan tersebut adalah untuk menyatukan bahasa dan peningkatan efisiensi, menghindari adanya dualisme dalam penggunaan bahasa didalam aparat negera. Dengan demikian, secara resmi pemerintah Indonesia menggunakan istilah Cina untuk menggantikan Tiongkok dan Tionghoa.

4. Reaksi dengan digunakannya istilah Cina

O Reaksi Pemerintah Tiongkok
Sejak akhir Agustus 1966, setelah wakil panglima AD melaporkan keputusan pada Soeharto untuk mengganti nama Republik Rakyat Tiongkok, pengumuman resmi pemerintah, siaran Radio-TV dan suratkabar berturut-turut merubah sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina dan menyebut warga Tionghoa menjadi warga Tjina. Pembicaraan Pejabat Menteri Luar Negeri Diah, didepan konfrensi-press 20 September dan Pernyataan Menteri Luar Negeri 23 September mengenai pengiriman kapal dari Tiongkok untuk mengangkut Huakiao yang dipersekusi, telah mulai menggunakan istilah Cina tersebut. Untuk itu, pihak Tiongkok melalui Harian Rakyat pada 27 Oktober menyiarkan editorial: Perubahan sepihak pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar terhadap Rakyat Tiongkok, dan Rakyat Tiongkok menyatakan sangat marah atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.

Editorial lebih lanjut menyatakan: Umum sudah mengetahui bahwa Cina ketika Indonesia pada masa dikuasai oleh kaum imperialis dan kolonialis, adalah istilah yang digunakan untuk menghina rakyat Tiongkok. Dan oleh karenanya, pemerintah Tiongkok telah mengajukan protes berulang kali atas penggantian istilah nama negara secara sepihak oleh pemerintah Indonesia.

28 Februari 1967 Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, mengundang Duta Besar Tiongkok untuk menghadiri pembukaan Sidang Istimewa MPRS, secara gegabah merubah Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Tiongkok. Setelah diprotes dengan keras, pihak pimpinan MPRS pada tanggal 3 Maret sekali lagi melempar undangan dengan merubah nama Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina. Untuk itu, sekali lagi pihak Duta Besar kami secara tegas dan keras protes terhadap sikap pemerintah Indonesia tersebut.

14 Mei tahun yang sama, pihak kementerian luar negeri Indonesia mengirim surat resmi pada Duta Besar kami, sekali lagi merubah nama negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina, dan Duta Besar kami untuk kesekian kalinya mengajukan protes sekeras-kerasnya. Menyatakan tindakan pemerintah Indonesia demikian itu adalah satu penghinaan dan provokasi yang serius terhadap Republik Rakyat Tiongkok.
Pada tanggal 4 Desember 1989, delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menlu Shu Guo Xin tiba di Jakarta, untuk memperbincangkan masalah teknis normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.

Berdasarkan yang disiarkan suratkabar di Indonesia, dalam perbincangan kedua negara, pihak Tiongkok tegas mempertahankan sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan bukan Republik Rakyat Cina, karena istilah Cina mengandung pengertian menghina. Tapi pihak pemerintah Indonesia bertahan dan berpendapat masalah istilah ini di luar agenda yang diperbincangkan. Secara tegas dan keras mempertahankan penyatuan dan keseragaman istilah yang digunakan internasional adalah satu pendirian ilmiah yang tepat.

Pada tahun 1994, ketika Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, J. Juwana mengunjungi Universitas BeiJing mengungkap peristiwa yang terjadi: Pada saat beliau menyerahkan Surat Kuasa Negara pada Presiden Tiongkok, surat kuasa semula menggunakan sebutan Cina. Kontan saja Pemerintah Tiongkok menolak dan mengembalikan surat kuasa itu. Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok terpaksa mengirim kembali Surat Kuasa itu ke Jakarta, untuk merubahnya dengan ejaan bahasa Inggris China dalam sebutan Tiongkok, barulah surat kuasa itu diterima.

Majalah Indonesia dan Asian (No-111, Juli 2000) dalam reportase wawancara dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Chen Shi Qiu mengenai masalah Cina, Duta Chen secara tegas menandaskan: Kebencian rakyat Tiongkok terhadap sebutan Cina ada sebab sejarahnya. Rakyat Tiongkok mendengar sebutan Cina menjadi terkenang pengalaman pahit yang terhina dan tersiksa yang dialaminya selama penjajahan imperialis-Jepang. Sebutan Cina sangat melukai perasaan rakyat Tiongkok. Sebelum tahun 1967, di Indonesia selalu menggunakan sebutan Tiongkok, begitu juga bahasa yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, setelah dikeluarkannya Ketetapan Presiden dan Presidium Kabinet ditahun 1967, merubah sebutan Tiongkok jadi Cina.

Sudah tentu ini adalah tindakan yang sangat tidak bersahabat terhadap Tiongkok. Pada saat normalisasi hubungan diplomatik kedua negara di tahun 1990, kedua belah pihak juga sudah mencapai kesepakatan resmi, semua dokumen pemerintahan Indonesia menggunakan sebutan China untuk Tiongkok, dan tidak lagi menggunakan Cina.
Tetap sangat disesalkan, sampai saat kini masih saja sementara aparat pemerintah dan surat kabar tertentu tetap saja menggunakan sebutan Cina. Kami sangat mengharapkan mereka bisa bertolak atas dasar menghormati perasaan Rakyat Tiongkok, memperbaiki sebutan yang salah itu, dan dengan demikian bisa memainkan peranan secara aktif meningkatkan persahabatan rakyat kedua negara.

O Reaksi orang Tionghoa dirantau.
Orang-orang Tionghoa kelahiran Indonesia sebelum tahun 60 abad 20, umumnya mengerti adanya perbedaan makna dari dua sebutan Tiongkok dan Cina itu, bahkan mereka merasakan sendiri kepahitan sejarah ketika itu.

Seorang pelajar Leo Suryadinata (Liao Jian Yi) di Singapore menyatakan: Sebutan Cina bagi orang Tionghoa kelahiran Indonesia adalah mengandung arti penghinaan. Juga pelajar Indonesia, Li Tik Tjing menyatakan: Di Asia Tenggara, terutama bagi peranakan Tionghoa dan Hakiao di Indonesia, setelah mereka berhubungan dengan bangsa Melayu, merasa terhina kalau mereka menyebutkan Cina untuk Tiongkok dan Tionghoa.

Li Tik Tjing pada tahun 1988 di majalah Vista No27, ketika menjawab pertanyaan wartawan, juga tetap mempertahankan pendapatnya sampai saat kini didalam bahasa Indonesia Cina¡ bermakna penghinaan. Kami berpendapat, yang dimaksud orang Tionghoa kelahiran Indonesia (baik peranakan Tionghoa maupun Huakiao) oleh Leo Suryadinata dan Li Tik Tjing, pada pokoknya adalah orang-orang Tionghoa Indonesia yang lahir sebelum tahun 60. Siauw Giok Tjhan dalam bukunya Lima Jaman juga secara jelas menunjukkan Pemerintah Suharto sengaja merubah Tiongkok jadi Cina untuk menghina
Tiongkok.

Wartawan Oei Liong Thai, peranakan Tionghoa yang pada tahun 70-an menetap di Belanda juga berkali-kali menunjukkan: Yang tepat adalah Tionghoa dan seharusnya mencampakan Cina. Beberapa tahun terakhir ini, kami berkesempatan mengunjungi Indonesia, Eropa dan juga di Bei Jing sendiri ketika bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang tua dan setengah baya Tionghoa, pada umumnya mereka tidak menggunakan Cina dalam menyebut Tiongkok, sudah barang tentu pada masa kekuasaan Soeharto di depan umum dan dalam tulisan resmi, mereka terpaksa harus menggunakan juga istilah cina itu. Bisa dimengerti, demi keselamatan mereka sendiri. Kami juga tidak menyangkal di antara orang tua Tionghoa ada juga yang mengambil sikap tidak apa-apa dengan sebutan cina, tetapi mayoritas orang Tionghoa tidak bisa menerimanya.

Bagi orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 60, karena tidak mengerti latar belakang sejarah kedua istilah itu, ditambah sebagai satu ketentuan resmi pemerintah Soeharto mencekokinya melalui Radio, TV dan media pers dengan menggunakan istilah Cina dalam menyebutkan Tiongkok, dan mayoritas mereka dalam menyebut Cina juga tidak bermaksud menghina, maka akhir-akhir ini pemuda-pemuda Tionghoa dari Indonesia yang melancong ke Tiongkok juga menjadi sedikit yang menggunakan istilah Tiongkok.

Perlu ditekankan disini, sekalipun di Malaysia dan Singapura dalam bahasa Melayu mereka menyebut Tiongkok dengan China, orang Tionghoa setempat dan peranakan Tionghoa sebagai Keturunan Cina, menyebutkan suku Tionghoa sebagai Kaum Cina, tetapi tidak sedikitpun mengandung pengertian menghina.

Ini disebabkan karena di Singapore dan Malaysia tidak pernah terjadi peristiwa politik yang sengaja merubah sebutan Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina untuk menghina Tiongkok dalam rangka politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1967. Ketika kami mengunjungi Singapore dan Malaysia, mendapatkan pengertian bahwa istilah Cina tidak bermakna penghinaan bagi orang Tionghoa dan Huakiao di Singapore dan Malaysia. Jadi, sungguh berbeda dengan latar belakang khusus dan sejarah khusus yang terjadi di Indonesia, yang tidak bias diragukan lagi, bahwa sementara orang Indonesia justru sengaja menggunakan istilah Cina ini untuk menghina Tiongkok dan orang Tionghoa.

REAKSI DARI PRIBUMI INDONESIA
Harian Kompas 28 April 1967 memuat surat Mochtar Lubis, seorang wartawan dan penulis
ternama, di dalam surat itu menandaskan bahwa penggunaan istilah Cina setidaknya telah melukai perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia. Surat kabar Sinar Harapan tertanggal 3 Mei 1967 juga telah memuat surat seorang pembaca, Alexsander yang menyatakan: Kami bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak seharusnya melukai perasaan suku bangsa lain, jadi sudah seharusnya menghentikan penggunaan istilah Cina.

Bahkan di dalam intern Angkatan Darat juga ada orang yang menentang digunakannya istilah Cina. Mereka mengatakan: Seandainya tindakan demikian itu mengakibatkan kehilangan simpatik orang Tionghoa di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, maka akan mengancam kestabilan rencana ekonomi dari kabinet. Seandainya tujuan kita adalah meng-hina Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, perubahan penggunaan istilah Cina itu tidak akan mencapai tujuan, karena yang lebih dahulu terkena, merasa terhina dan terlukai perasaannya adalah orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara terutama di Indonesia.

Harian Angkatan Bersenjata tanggal 8 Agustus 1967, memuat tulisan Jauhari Achmad, yang mencoba memberikan penjelasan dan pembelaan atas penggunaan istilah Cina. Dia menyatakan digunakannya kembali istilah Cina bisa secara cepat mendapatkan sambutan secara luas, membuktikan bahwa istilah itu sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Penulis menyangkal bahwa istilah Cina mengandung arti penghinaan. Dikatakan Selanjutnya, seandainya bermakna penghinaaan, itu juga dibuat oleh masyarakat orang Tionghoa sendiri. Kesensitifan orang Tionghoa dalam masalah ini berhubungan erat dengan sikap dan tindakan mereka dibidang perdagangan. Sikap dan tindakan mereka itu justru yang melukai perasaan pribumi Indonesia.

Di bawah tekanan keras dari pemerintah Soeharto setelah tahun 1967, sebagian besar pers-surat kabar menyebutkan Tiongkok dengan Cina, hanya sebagian kecil saja, seperti Harian Merdeka pernah bertahan menggunakan istilah Tiongkok dalam jangka waktu cukup lama. Kamus Besar Indonesia terbitan Departemen Pendidikan cetakan tahun 1988, tidak lagi bisa ditemukan istilah Tiongkok dan Tionghoa. Yang ada hanyalah Cina yang berarti 1. satu negara besar di Asia; 2. Suku bangsa yang tinggal di negara itu. Dan dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan Republik Rakyat Cina. Kecuali itu, ada juga sementara politikus dalam pembicaraan dan tulisannya sekaligus menggunakan Cina dan Tiongkok.

Sampai pada tahun 1997, dikeluarkannya Kamus Umum Mandarin – Indonesia terbitan Universitas Indonesia, juga tidak terdapat istilah Tiongkok, yang ada hanya kata Zhong Hua diterjemahkan jadi Tionghoa. Sedang dalam penjelasan tambahan ke-13 kata Zhong Guo diterjemahkan jadi Cina dan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo diterjemahkan jadi Republik Rakyat Cina. Inilah akibat politik anti Tiongkok dan anti Tionghoa yang telah merasuk dan meluas dijaman pemerintahan Soeharto.

Sungguh sangat menggembirakan kita, perkembangan reformasi dan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini telah membawakan suasana baru. Pada saat Abdurrahmad Wahid menjabat Presiden Indonesia di akhir tahun 1999, pejabat-pejabat resmi pemerintahan mulai menggunakan lagi istilah Tiongkok dan Tionghoa menggantikan Cina. Presiden Wahid sendiri memelopori dalam kata sambutannya menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa.

Penulis ketika mengunjungi Indonesia pada Agustus 2000, sahabat-sahabat lama menjelaskan pada penulis, bahwa Presiden Wahid di dalam laporan kerja pemerintah bulan Agustus itu, sudah secara tegas menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan tidak lagi menyebut Republik Rakyat Cina. Tentu ini adalah satu berita yang sangat menggembirakan. Dalam laporan lain, yang pada saat kini menjabat wakil Presiden, Megawati bahkan merasakan dirinya bangga bisa menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa lagi. Pada tahun 1998 di depan rapat massa di Jawa Timur, Megawati bahkan pernah mengatakan: “Sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya.”

September 1999, Konsulat Indonesia di Hong Kong ketika mengucapkan Selamat 50 Tahun Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan pada bulan Juni 2000 dalam rangka memperingati 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-RRT, beliau juga sudah menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa, tidak lagi Cina. Agustus 2000, ketika Wakil Presiden Tiongkok Hu Jin Tao mengunjungi Indonesia, Duta Besar Indonesia di Tiongkok, Kuntara yang menyertai delegasi, dalam setiap siaran pers dan pembicaraan di depan umum, beliau menggunakan istilah Republik Rakyat China.

Mayoritas yang dinamakan pribumi Indonesia bisa mengerti, demi menghormati dan tidak melukai perasaan rakyat Tiongkok dan peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia, mereka bisa tidak menggunakan sebutan Cina lagi, tapi kembali menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa. Tetapi, karena penggunaan istilah Cina yang dipaksakan itu sudah berlangsung dan terbiasa selama puluhan tahun, tidaklah aneh kalau akhirnya sudah menjadi sebutan sehari-hari. Dan dengan demikian kitapun tidak perlu terlalu kecewa dan pesimis.

Sayapun yakin, mayoritas mutlak mereka tentunya tidak ada maksud untuk menghina dan melukai perasaan rakyat Tiongkok, dan bias bersahabat bagaiakan sesaudara dengan peranakan Tionghoa yang sudah hidup turun temurun di Indonesia. Kita harus bisa sabar melancarkan propaganda dan menanti kesediaan mereka merubah sebutan yang tidak tepat itu.

5. Beberapa alternatif penyelesaian
Sementara ini paling sedikit ada 3 cara penyelesaian. Pertama terus menggunakan istilah Cina dalam menyebut Tiongkok; Kedua, mengubahnya kembali dengan sebutan Tiongkok; dan Ketiga, menggunakan ejaan bahasa Inggris China. Kecuali itu, ada juga sementara orang mengajukan untuk menggunakan istilah Zhongguo (seperti yang diajukan wartawan Oei Liong Thai, Tionghoa asal Indonesia yang telah menentap di Belanda) atau Caina, dll.

Tetapi, pendapat penulis sebutan yang lebih tepat dan ilmiah seharusnya adalah Republik Rakyat Tionghoa. Yang pasti kami tidak bisa menerima sebutan Tiongkok sebagai Cina. Sebagaimana pada tahun 1967 pemerintah Soeharto memaksakan perubahan Tiongkok menjadi Cina dengan alasan:
1. Untuk menghilangkan rasa rendah diri yang ada pada kaum pribumi dan menghapus rasa superior dari orang Tionghoa dan Hakiao di Indonesia;
2. Pemulihan istilah yang umum digunakan didalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok;
3. Keseragaman bahasa yang digunakan dalam sebutan terhadap Tiongkok.

Kami mengambil sikap menentang dan mengkritik alasan yang diajukan pemerintah Indonesia itu. Seperti yang telah dijelaskan terdahulu, masalah sebutan terhadap negara kami adalah masalah prinsip yang menghargai Tiongkok sebagai negara. Jadi, seharusnya diatas dasar pengertian inilah kita melanjutkan mendalami pengertian dan berdiskusi. Sebenarnya istilah Cina adalah istilah yang netral. Tetapi, dalam sejarah Indonesia, imperialisme penjajah-Belanda justru menggunakan istilah Cina itu untuk menghina Tiongkok.

Pada awal abad 20 gerakan pembebasan nasional rakyat Asia makin memuncak, orang Tionghoa Indonesia yang revolusioner mendirikan Tionghoa Hui Kwan, yang tegas menentang kaum penjajah menggunakan istilah Cina yang bermakna menghina itu dan menggunakan sebutan Tiongkok. Terutama setelah Revolusi Xing-hai yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen tahun 1911 berhasil menggulingkan Dinasti Qing, dan dibentuknya Republik Tiongkok, orang Tionghoa di Indonesia secara resmi menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa, sebagai satu pernyataan penghargaan dan perasaan menghormati hasil kemenangan rakyat Tiongkok, sekaligus juga perasaan bangga sebagai turunan berkulit-kuning. Jadi, sekali-kali bukan sesuatu perasaan superior terhadap pribumi Indonesia yang dituduhkan sementara orang.

Sedikitpun juga tidak beralasan kalau dinyatakan bahwa penggunaan istilah Tiongkok membuat rasa rendah-diri pada pribumi Indonesia. Ambillah Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno sebagai pejuang besar melawan imperialisme dan kolonilaisme sebagai contoh (bahkan yang oleh pemerintah Soeharto sendiri, Soekarno pada 8 Nopember 1986 dinobatkan sebagai Pahlawan Bangsa), baik jauh sebelum maupun setelah kemerdekaan, beliau selalu menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan negara kami, tidak sekali juga beliau menggunakan istilah Cina atau Tjina. Ini adalah sikap agung Soekarno, yang bisa menghargai dan menghormati Sun Yat Sen dan rakyat Tiongkok dan menjadikannya teladan berevolusi bagi dirinya sendiri. Adalah juga Soekarno yang telah menempatkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai kawan seperjuangan rakyat Indonesia dalam melwan imperialisme dan kolonialisme.

Dengan sebutan Tiongkok pada Zhongguo itu, apakah bisa dikatakan Soekarno telah menempatkan nasion Indonesia rendah-diri? Tentu saja tidak! Apa yang dikatakan Pemulihan istilah yang umum digunakan di dalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok. Umum mengetahui, bahwa bahasa yang digunakan di dunia internasional, dalam bahasa Inggris menyebut Tiongkok dengan China, dan jelas istilah Cina dalam ejaan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah yang berlainan. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa Inggris, dan dalam jangka waktu panjang didalam bahasa Indonesia juga sudah menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan Zhonggou dalam lafak Hokkian. Jadi, adalah juga tidak beralasan perubahan penggunaan istilah Cina dalam sebutan Tiongkok untuk keseragaman bahasa yang dipakai internasional.

Keseragaman sebutan istilah untuk Zhongguo, juga tidak masuk akal. Belasan tahun sebelum tahun 1965, di Indonesia dari atas sampai ke bawah semua menyebut Tiongkok untuk Zhongguo, dan bukan Cina (Tjina). Baru setelah tahun 1967, dilancarkan gelombang anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa oleh pemerintah Suharto, digunakanlah istilah Cina untuk mengganti istilah Tiongkok dan Tionghoa. Yang jelas adalah bermuatan politik dan bukan untuk keseragaman bahasa dan istilah!

Bagi Indonesia, penggunaan istilah bahasa Inggris China untuk menggantikan sebutan Tiongkok masih lebih baik ketimbang sebutan Cina. Karena China bersifat netral sedang Cina bermakna menghina. Tetapi, dalam ejaan baru bahasa Indonesia tidak ada bunyi ejaan dengan Ch, jadi kurang selaras seandainya memaksakan istilah bahasa Inggris China ke dalam bahasa Indonesia.

Ini kalau sekadar kita tinjau dari segi bahasa. Tapi, kalau kita mau meng-Indonesiakan nama Zhongguo dari bahasa Inggris, mengapa tidak meng-Indonesiakan nama-nama negara Amerika, Inggris, Perancis, Belanda dll negara juga dari bahasa Inggris? Sebagai satu langkah keseragamanan bahasa dan istilah?

Sejak Soeharto naik tahta di tahun 1967 merubah penggunaan istilah Tiongkok menjadi Cina, dan setelah Soeharto lengser di tahun 1998 berarti istilah Cina telah berlangsung lebih dari dari 30 tahun di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan di kalangan generasi muda masyarakat Tionghoa juga sudah menjadi biasa dengan penggunaan istilah Cina itu. Tentu adalah sesuatu yang tidak realis, seandainya sekarang juga setelah dipulihkannya hubungan diplomatik kedua negara RI-RRT, istilah Cina dihilangkan secara keseluruhan.

Di akhir tahun 60-an, dimulainya kekuasaan Soeharto, penerbitan di Indonesia dan macam-macam peta-Atlas sampai pada sebutan Laut Tiongkok Selatan, untuk merubah jadi Laut Cina Selatan juga memerlukan proses. Sedang dilihat dari Hukum, karena perubahan penggunaan sebutan Tiongkok jadi Cina adalah keputusan Presidium Kabinet ditahun 1967, maka sudah seharusnya kita juga harus menunggu pencabutan penggunaan sebutan Cina dari Presidium Kabinet yang akan datang.

Pelurusan masalah yang terjadi didalam masyarakat atas kesalahan sebutan terhadap nama negara kami, Zhongguo bukanlah sesuatu yang bias diselesaikan bagaikan hilangnya embun dipagi hari. Tetapi, dari pandangan sejarah dan titik tolak persahabatan rakyat kedua negara yang harus saling menghargai dan menghormati, kami berhak menuntut pihak Pemerintah Indonesia untuk segera kembali menggunakan sebutan Tiongkok dan untuk sebautan lengkap menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Sebagaimana tertulis di atas penandatanganan perjanjian pembukaan hubungan diplomatik kedua negera Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia di tahun 1950.

Sejarah telah mencampakan kekuasaan Soeharto yang bersikap tidak bersahabat pada rakyat Tiongkok, gerakan demokrasi dan reformasi terus bergulir meningkatkan nasionalis dan persahabatan yang harmonis antar suku. Masyarakat Tionghoa di Indonesia juga telah meningkat kesadarannya, secara inisiatif mengajukan agar pemerintah memperhatikan setiap masa sejarah sebutan terhadap kelompok suku-Tionghoa di Indonesia.

Mayoritas peranakan Tionghoa di Indonesia yang lebih suka dipulihkannya kembali sebutan Tionghoa, mereka tegas menentang sebutan Cina, karena sebutan Cina yang mengandung penghinaan itu sangat melukai perasaan mereka.Tuntutan demikian ini adalah satu tuntutan yang wajar, dan tentunya sangat bermanfaat untuk memperkokoh kerukunan dan persatuan nasional, sangat menguntungkan bagi usaha mendorong maju ketentraman dan kemakmuran masyarakat Indonesia.*


* Oleh: Prof Kong Yuan Zhi
Universitas BeiJing
BeiJing, Oktober 2000

Tempayan Retak

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang pada bahunya.
Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh, maka tempayan retak hanya setengahnya saja.
Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya.
Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya.
Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air. "Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu."
"Kenapa?" tanya si tukang air,
"Kenapa kamu merasa malu?"
"Selama dua tahun ini, saya hanya mampu membawa setengah porsi air dari yang seharusnya. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi," kata tempayan itu.
Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak. Dalam belas kasihannya, ia berkata, "Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."
Benar, ketika mereka naik ke bukit, Si tempayan retak memperhatikan Dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan. Hal itu membuatnya sedikit terhibur.
Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan si sisimu, tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu. Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya.
Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu. Setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air,
Kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."

Setiap dari kita memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias-Nya.
Di mata Tuhan yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan Tuhan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, Kita menemukan kekuatan kita.

Unknow

Tuesday, January 17, 2006

Zoe Bell

Dia melompat dengan putaran penuh dan jatuh dengan dada terlebih dahulu menyentuh tanah. Gagal, dia mencoba lagi dengan lompatan lebih tinggi dengan putaran lebih cepat. Gagal lagi, bahkan bahu kanannya memar akibat benturan keras.
Namun, dia tak menyerah. Dia buat sekali lagi. Sempurna. Tapi bahunya sakit hingga harus dikompres dan dipijat sesaat.
Namun, seorang pria yang memperhatikannya dari tadi tak puas. Menurutnya, putarannya sudah bagus dan cepat. Tapi, terlalu tinggi. Lelaki itu, memintanya melakukan lompatan lebih rendah dengan putaran lebih cepat.
Tanpa perasaan kecewa, dia mengulanginya sekali lagi. Gagal, diulang lagi, hingga lebih dari sepuluh kali. Rasa haus, capek dan sakit sudah hilang. Namun, semangat tetap membara.
Karena gagal terus, akhirnya lelaki tadi memberhentikan aksi itu. Diputuskan, lompatan sempurna, namun tetap terlalu tinggi yang dipakai. Akhirnya, neraka (bagi yang melihat) itu berakhir.
Namanya, Zoe Bell. Dia seorang ibu muda beranak satu. Umurnya baru 28 tahun 2006 ini. Zoe Bell adalah pameran pengganti wanita asal Selandia Baru. Dia tak cukup terkenal, namun filem dan aktor yang dilakoni sebagai pameran peganti sangat terkenal.
So, siapa yang tidak tahu serial televisi Xena, The Princess Warriors? Fila serial televisi yang disiarkan salah satu televisi swasta akhir tahun 1990-an setiap hari Minggu pagi tersebut begitu terkenal. Baik di kalangan anak-anak, remaja hingga orang tua.
Namun, Zoe Bell tak terkenal. Orang-orang hanya mengenal Lucy Lawless yang menjadi pameran utama Xena atau Renee O'Connor alias Gabrielle yang menjadi pameran pembantu dan sahabt Xena. No, no one know who are her?.
Namun, saat Xena hampir berakhir dan Zoe melakukan aksi di epsode terakhir yang berjudul disappointing letdown, Zoe menangis. Dia bersedih. Xena adalah awal karirnya, dan beberapa tahun dia sudah menjalani episode demi episode. Meski Xena menarik rating besar di televisi tempat asalnya sana (Selandia Baru) dan hampir di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia, namun cerita harus berakhir. Maka, habislah Xena dan habislah Zoe.
Besambung yaa

Tuesday, November 01, 2005

Ade

Beberapa hari menjelang lebaran tahun lalu, tiba-tiba Hpku berdering sebentar. Miscall dari Ade Sisca di Bandung. Saat itu, aku dalam tugas meliput TKI Ilegal di Tawau, Sabah Malaysia Timur. Penasaran, aku telepon balik. Dari sana, dari kejauhan terdengar suara Ade menangis. Ade terdengar sedih sekali. "Andy, Rico masuk rumah sakit," katanya. Duh...
Aku bingung harus berbuat apa. Aku mau membantu Ade, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Aku benar-benar dalam kebingungan saat Ade mengatakan, di kepala Rico yang biasa dipanggil Koko ada daging tumbuh. Yup, tumor tersebut sudah menembus otaknya. Umur Koko hanya menghitung detik.
Sebenarnya, aku mau meminta Ade dan Mamanya bersabar. Tapi, setengah tahun sebelumnya, Ayah juga berpulang. Aku tak mau mereka berprasangka buruk terhadap Allah SWT. Tapi, aku sempat meminta Ade istiqfar...
Lalu, terjadilah yang dikehendaki-Nya. Koko meninggal setelah 2 minggu dirawat di rumah sakit. Banyak pelayat yang datang. Banyak pelayat yang bersedih. Tapi tak ada pelayat yang dapat meredakan sedih Ade dan mamanya.
Tahun 2004 adalah tahun kesialan dalam rumah tersebut. Di awal tahun, ada 4 empat jiwa yang tinggal di rumah itu. Suami-Istri dan sepasang anak. Lelaki dan perempuan. Di akhir tahun, cuma tertinggal seorang janda dengan putrinya. Dua lelaki mereka lebih dulu menghadap Allah. Semoga ampunan mereka terima. Semoga Allah memberi mereka nikmat kubur hingga surga. AMIN
............
Dini hari tadi atau dua hari menjelang lebaran. Aku telepon Ade. Sambungan pertama putus. Yang kedua agak lama baru diangkat.
"Assalamualaikum..." kataku.
"Walaikum salam," sahut Ade sengau. Dia baru bangun tidur
Lalu, obrolanpun berjalan mulus.
Suara Ade terdengar manja, semanja pertama kali aku mengenalnya.
Tak terdengar adanya kesedihan yang terasa akibat kenangan puasa di tahun lalu.
Semua terdengar biasa, sangat biasa.
Tapi, aku tahu.
Ade tak akan melupakan Papanya.
Ade juga tak akan melupakan Koko.
Malah aku yang menangis.


Rindu Ade

Andy

Monday, September 19, 2005

Kotak Sabun

Ha ha ha.....

Jika aku lebih memilih kapal untuk menyeberangi pulau, itu murni alasan "JIKA".
Yup, jika terjadi kecelakaan, seperti tabrakan, karam atau lainnya, maka aku si-anak dayak yang dari kecil udah bisa berenang (Karena rumah selalu kebanjiran :D), masih memiliki harapan selamat.
Jika aku terlalu takut berenang, aku masih bisa memanfaatkan pelampung.
Jika kapal mogok, aku masih bisa bersantai dengan cemberut menunggu bantuan datang atau hingga mekanik berhasil memperbaiki mesin.
Jika...jika dan jika, yang jelas, aku ada alasan tepat untuk tetap hidup.
But, it's sure. Yesterday, i'm flying with cessna. Gilaaaa boo.
AKu sebenarnya tidak takut untuk naik pesawat. Tapi, ini Cessna sayang. Pesawat baling-baling degan kapasitas 8 penumpang yang sebelum naik pesawat, berat badan dan bagasi harus ditimbang dahulu.
Aku bisa katakan, pesawat tersebut lebih mirip kotak sabun yang diberi baling-baling daripada sebuah pesawat penumpang?
Terus terang, sakit benar rasanya hati saat disuruh nimbang berat sebelum boarding.
Hmmm...Kejadian itu waktu aku berniat balik dari Malinau ke Tarakan. Aku sakit pinggang. Jika jalan laut, harus naek speed selama 3 jam dan terguncang gelombang. Naik kotak sabun dengan segala risk-nya hanya 25 menit. Oh, god, pilihan susah.
Paling menjengkelkan. Saat si petugas tiket menyuruh datang jam 12. Ternyata, pesawat datang pukul 1.30. Tauk ga, apa yang dikatakan pilot saat pesawat udah landing?
"Dari tadi nunggu yah mas. Maaf, saya makan dulu. Baru kita berangkat yah" Dus, ini pesawat apa bis kota?
Suer deh. Dari pukul 12 hingga pesawat datang, aku sendirian di bandara. Saat pesawat datang, maka petugaspun berdatangan. Kemudian....alaaa mak. mereka telepon satu persatu penumpang dan katakan pesawat udah tiba.
Sungguh. Hanya di Malinau terjadi kejadian ini dan hanya pilot Cessna yang minta izin untuk makan siang setelah terlambat 1,5 jam.

But, aku selamat

Adj

Friday, September 02, 2005

Who I'm

The Winner is always part of the answer;
The Loser is always part of the problem.

The Winner is always has a program;
The Loser always has an excuse.

The Winner says,"Let me do it for you;
The Loser says;" That is not my job."

The Winner sees an answer for every problem;
The Loser sees a problem for every answer.

The Winner says," It may be difficult but it is possible";
The Loser says,"It may be possible but it is too difficult."

When a Winner makes a mistake, he says," I was wrong";
When a Loser makes a mistake, he says," It wasn't my fault."

A Winner makes commitments;
A Loser makes promises.

Winners have dreams;
Loser have schemes.

Winners say," I must do something";
Losers say,"Something must be done."

Winners are a part of the team;
Losers are apart from the team.

Winners see the gain;
Losers see the pain.

Winners see possibilities;
Losers see problems.

Winners believe in win or win;
Losers believe for them to win someone has to lose.

Winners choose what they say;
Losers say what they choose.

Winners use hard arguments but soft words;
Losers use soft arguments but hard words.

Winners follow the philosophy of empathy: "Don't do to others what you
would, not want them to do to you";
Losers follow the philosophy, "Do it to others before they do it to
you."

Winners make it happen;
Losers let it happen.

(dari tetangga)