Wednesday, June 14, 2006

Sebutan Tiongkok, Tionghoa dan Cina?

Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lebih akhirnya turun panggung pada tahun 1998 Mei 21. Seiring dengan makin mendalamnya gerakan demokrasi dan reformasi, politik diskriminasi terhadap orang Tionghoa di Indonesia juga mendapatkan perubahan. Berbagai partai politik, organisasi dan organ-media orang Tionghoa, berbondong-bondong mengajukan penggantian kembali sebutan Cina menjadi Tiongkok dan Tionghoa. Dan masalah tersebut telah menjadi perdebatan hangat di dalam masyarakat.
Sebenarnya yang mana lebih tepat, sebutan Tiongkok atau Cina? Sebutan Zhong Hua Ren Min Gong

He Guo menjadi Republik Rakyat Tiongkok atau Republik Rakyat Cina? Lalu, sebutan Keturunan Tionghoa atau Keturunan Cina bagi Hua Yi di Indonesia? Di mana makna Cina yang mengandung penghinaan itu sesungguhnya? Yang pasti, sebutan yang tepat terhadap satu negara, Tiongkok atau Cina adalah masalah kehormatan, begitu juga sebutan terhadap orang Hua di Indonesia menjadi orang Tionghoa atau orang Cina adalah masalah kehormatan bagi mereka. Tiongkok dan berbagai lapisan rakyat di Indonesia sangat memperhatikan masalah-masalah sensitif ini, masalah wajar yang terjadi dalam hubungan perasaan sesama manusia. Ijinkanlah saya mengajukan pendapat-pendapat pribadi saya mengenai masalah ini.

1. Asal-usul sebutan Tiongkok dan Cina.
Kalau kita usut sebutan Tiongkok dari dinasti Shang, di mana ketika itu daratan Tiongkok terpecah jadi banyak negara-negara atau kerajaan kecil, sebentar tunduk, sebentar menghianati kerajaan Shang. Ketika dinasti Shang menguasai wilayah di tengah-tengah kerajaan yang berada di sebelah Timur, Barat, Utara dan Selatan, maka negara kerajaan ini disebut Tiongkok (Zhong Guo dalam lafal bahasa daerah Hokian, yang juga berarti Negara-Tengah).

Sebenarnya, kalau diteliti lebih jauh, istilah Tiongkok sudah muncul di dalam Kumpulan Sajak-kuno jaman kerajaan Zhou. Kerajaan Zhou Barat menyatakan daratan dan kerajaan di tengah sebagai Tiongkok, yang merupakan daerah central dan pusat kebudayaan. Begitulah kemudian setelah makin bersatunya bangsa Tionghoa menggunakan sebutan Tiongkok sampai saat kini.

Sedangkan istilah China yang biasa disebutkan orang asing pada Tiongkok sebenarnya adalah netral saja. Sebagaimana penulis pernah menyatakan, jauh pada pertengahan abad 7, seorang Biksu Zheng (Pendeta Budha) ternama Tiongkok ke India Melawat Ke-Barat, menyatakan orang India menyebut Tiongkok sebagai Moko China. Di dalam Riwayat Biksu-Chi Shi juga tercatat dengan menjelaskan China sebagai Kebudayaan China.

Di dalam Kumpulan Istilah Terjemahan dari Song She Fa Wen, disebut: China sebagai satu negara budaya. Yang memuji negera tersebut sebagai tempat mendapatkan baju-pakaian. Hingga jaman kini, Biksu Sumansu berpendapat, Istilah China, bukan berasal dari bunyi dinasti Qin karena dalam sajak kuno India Mokoboroto sudah menyebutkan panggilan china itu. Berdasarkan buku dari India dimasa dinasti Boroto, yaitu di masa dinasti Shang di Tiongkok pada tahun 1400 sebelum Masehi sudah digunakan istilah China.

Dengan demikian jelas, bahwa China tidak ada hubungan dengan Qin, juga tidak mungkin lebih dahulu adanya jaman-porselen, baru muncul sebutan China sebagai Tiongkok. Sementara orang beranggapan China muncul dari istilah Jing yaitu Negara Chu. Pada saat jenderal Zhuang meresmikan dirinya sebagai raja Negara Chu diabad 4 Sebelum Masehi. Ketika itu di dalam tulisan-tulisan di India, Persia dan Eropa sudah muncul sebeutan China untuk Tiongkok. Sedangkan berdasarkan Encyclopedia terbitan terbaru, menyatakan China berasal dari bunyi Qin dinasti. Dan Encyclopedia ini secara sepintas menyatakan ucapan Biksu Zheng Yi

Jing dari dinasti Tang bahwa orang barat menyebutkan negara Tang sebagai China. Sementara pelajar di luar negeri juga tidak setuju menyatakan bahwa China berasal dari bunyi Qin dinasti. Pada saat ini sebutan dunia barat pada Tiongkok, sebagaimana seorang Profesor bahasa Latin menyatakan: istilah Zhong Guo di dalam bahasa Inggris menjadi China, bahasa Perancis menjadi Chine, bahasa Jerman menjadi China adalah perubahan dari bahasa latin Cina. Di Jepang, istilah China baru muncul sekitar pertengahan jaman Dinasti Ming. Di tahun 1895, Jepang dari Persetujuan MaKwan mendapatkan 200 juta gr Emas dan pulau Taiwan.

Ketika itu orang Jepang berteriak girang : Jepang menang! China kalah! Dengan demikian, sejak saat itu mulailah dari menghormati Tiongkok menjadi memandang rendah dan menghina. Dari peperangan itulah, Jepang menyebut Tiongkok yang semula Morokoshi Kara menjadi China. Tiongkok sebagai negara kalah perang didalam perang Tiongkok-Jepang (1894-1895). Dan sebagai penyelidik jalan menuju Negara perkasa, serombongan pemuda Tionghoa belajar ke Jepang. Di antara orang Tionghoa ketika itu, tidak sedikit yang merasa istilah negara Qingi mengandung arti negara asing menguasai Tiongkok, maka sangat membencinya. Misalnya, Liang Qi Chau dan Huang Xing adalah yang berpendapat demikian.

2. Tiongkok, Tionghoa dan Cina dalam sejarah Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia berasal dan berdasarkan bahasa Melayu. Di dalam karya sastra klasik bahasa Melayu, seperti Riwayat Hang Tuah dan Peringatan Melayu di abad 17 sudah menyebut Tiongkok sebagai Cina. Di sini tidak ada pengertian menghina, begitulah di Malaya dari dahulu sampai sekarang menyebut Tiongkok dengan Cina.

Sebelum abad 20, di Indonesia juga menyebut Cina pada Tiongkok. Seiring dengan perkembangan gerakan nasional Indonesia, ditahun 1900 orang Tionghoa di Indonesia mendirikan Tionghoa Hui Kwan. Dan ditahun itu juga membangun sekolah-sekolah Tionghoa. Pengenalan Hoakiao terhadap tanah leluhurnya makin dalam dan hubungannya juga makin rapat, dari sebelumnya menyebut Cina sebagai Zhong Guo, dan orang Cina sebagai orang Tiongkok, kemudian diubah menjadi Tiongkok untuk negara dan Tionghoa untuk sebutan orang.

Pada tahun 1897, perantau Jepang di Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan orang Eropa, ini tentunya sehubungan dengan kuatnya negara Jepang. Hal ini telah membangkitkan kesadaran nasioanal Huakiao. Tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda menentukan 3 tingkat warga dalam undang-undang kewarganegaraan: Warga klas-1 adalah orang Eropah (Termasuk orang Jepang); Warga klas-2 adalah orang asing Timur (Terutama orang Tionghoa) dan warga klas-3 adalah orang Indonesia, yang disebut pribumi. Inilah manifestasi politik Perpecahan yang dilakukan kolonial Belanda. Penguasa colonial

Belanda menggunakan istilah Cina untuk menghina para Huakiao, oleh karenanya membuat
mayoritas Huakiao sangat jengkel dengan sebutan tersebut. Sun Yat Sen pada tahun 1905 di Tokio mendirikan Perserikatan Tiongkok, yang menentukan program Pengguntingan kuncir, pemulihan Tionghoa, mendirikan nasion yang mempunyai hak sederajat. Dan ditahun 1911 dibawah pimpinan Sun Yat Sen, revolusi Sing-hai menggulingkan dinasti feodal Qing, mendirikan Republik Tiongkok, dan setelah itu Huakiao di Indonesia menyebut dirinya sebagai orang Tiongkok, menggantikan istilah Cina dengan Tiongkok untuk sebutan negara dan Tionghoa untuk sebutan orang, sebagai satu sikap memperlakukan hasil kemenangan revolusi Rakyat Tiongkok.

Dengan demikian memastikan bahwa istilah Cina adalah bermakna penghinaan yang tidak seharusnya digunakan lagi. Anggaran dasar Tionghoa Hui Kwan pada tahun 1928 juga secara resmi merubah Cina jadi Tionghoa. Dan pada tahun itu juga, Gubernur Belanda juga secara resmi menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa. Sejak saat itu, tokoh-tokoh perjuangan nasionalis melawan penjajah Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo, Kihajar Dewantoro, Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno dll. Semua juga sudah menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa. Tidak lagi menggunakan istilah Cina.

Sejak Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan ditahun 1945 sampai sebelum peristiwa G30S 1965, pemerintah Indonesia tegas dalam pendirian ini. Termasuk press-media seluruhnya menggunakan Republik Rakyat Tiongkok, tidak satupun yang menggunakan Republik Rakyat Cina dan tidak menyatakan orang Tiongkok sebagai orang Cina.

Perlu ditekankan disini, pada saat pembukaan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia di tahun 1950, didalam dokomen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak juga menggunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, dan selanjutnya pihak pemerintah Indonesia dalam hubungan surat resmi juga menggunakan istilah Tiongkok untuk Zhong Guo dan Tionghoa untuk Zhong Hua, sebagai sebutan pada Zhong Guo untuk negara dan orang Tionghoa untuk orang Hua (Hua Ren).

Jadi jelas, setelah memasuki abad 20 ini, istilah Cina yang mengandung makna menghina itu sudah tidak digunakan lagi dan yang jelas sangat menyakiti hati para Huakiao itu bisa dimengerti secara baik oleh suku-suku lainnya. Perlu juga diingat, selama Puluhan tahun itu, Pemerintah Indonesia tetap saja selalu menyatakan mentaati Undang-Undang Dasar 1945. Sedang ayat-pertama Pasal 10 Warganegara, jelas menyatakan orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa, dan tidak menggunakan istilah Cina.

3. Pemerintah Soeharto mengganti Tiongkok dan Tionghoa jadi Cina.
Tak lama setelah meletus peristiwa G30S, di Indonesia terjadi arus anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Tidak hanya di suratkabar, bahkan di tembok kedutaan Tiongkok di Jakarta juga dicoret Ganyang Cina dll semboyan anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Seminar Angkatan Darat ke-2 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966 Agustus, wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan Seminar pada Suharto - pimpinan Kabinet menyatakan, “Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum di luar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior, kami melaporkan pada yang mulia, keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah Republik Rakyat Tjina (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan warga negara Tjina (ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan warga-nya”. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut adalah tepat. (Setelah penggunaan ejaan baru, Tjina berubah jadi Cina)

Bersamaan dengan itu, salah seorang peserta Seminar Letjen Soemitro, di depan pertemuan dengan wartawan mengumumkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Neokolonialisme salah satu Negara imperialis, yaitu Tjinkolim (Tjina Kolonialisme-imperialisme). 25 Juli 1967, Presidium Kabinet mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat untuk menggunakan istilah Cina sebagai ganti istilah Tiongkok dan Tionghoa. Presidum Kabinet setelah mempertimbangkan sejarah penggunaan istilah Cina¡ dan sebagai istilah yang disenangi rakyat Indonesia, menyatakan keputusan yang dianjurkan Seminar Angkatan Darat adalah tepat.

Kemudian juga dinyatakan, Pernyataan tersebut adalah untuk menyatukan bahasa dan peningkatan efisiensi, menghindari adanya dualisme dalam penggunaan bahasa didalam aparat negera. Dengan demikian, secara resmi pemerintah Indonesia menggunakan istilah Cina untuk menggantikan Tiongkok dan Tionghoa.

4. Reaksi dengan digunakannya istilah Cina

O Reaksi Pemerintah Tiongkok
Sejak akhir Agustus 1966, setelah wakil panglima AD melaporkan keputusan pada Soeharto untuk mengganti nama Republik Rakyat Tiongkok, pengumuman resmi pemerintah, siaran Radio-TV dan suratkabar berturut-turut merubah sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina dan menyebut warga Tionghoa menjadi warga Tjina. Pembicaraan Pejabat Menteri Luar Negeri Diah, didepan konfrensi-press 20 September dan Pernyataan Menteri Luar Negeri 23 September mengenai pengiriman kapal dari Tiongkok untuk mengangkut Huakiao yang dipersekusi, telah mulai menggunakan istilah Cina tersebut. Untuk itu, pihak Tiongkok melalui Harian Rakyat pada 27 Oktober menyiarkan editorial: Perubahan sepihak pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar terhadap Rakyat Tiongkok, dan Rakyat Tiongkok menyatakan sangat marah atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.

Editorial lebih lanjut menyatakan: Umum sudah mengetahui bahwa Cina ketika Indonesia pada masa dikuasai oleh kaum imperialis dan kolonialis, adalah istilah yang digunakan untuk menghina rakyat Tiongkok. Dan oleh karenanya, pemerintah Tiongkok telah mengajukan protes berulang kali atas penggantian istilah nama negara secara sepihak oleh pemerintah Indonesia.

28 Februari 1967 Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, mengundang Duta Besar Tiongkok untuk menghadiri pembukaan Sidang Istimewa MPRS, secara gegabah merubah Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Tiongkok. Setelah diprotes dengan keras, pihak pimpinan MPRS pada tanggal 3 Maret sekali lagi melempar undangan dengan merubah nama Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina. Untuk itu, sekali lagi pihak Duta Besar kami secara tegas dan keras protes terhadap sikap pemerintah Indonesia tersebut.

14 Mei tahun yang sama, pihak kementerian luar negeri Indonesia mengirim surat resmi pada Duta Besar kami, sekali lagi merubah nama negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina, dan Duta Besar kami untuk kesekian kalinya mengajukan protes sekeras-kerasnya. Menyatakan tindakan pemerintah Indonesia demikian itu adalah satu penghinaan dan provokasi yang serius terhadap Republik Rakyat Tiongkok.
Pada tanggal 4 Desember 1989, delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh wakil Menlu Shu Guo Xin tiba di Jakarta, untuk memperbincangkan masalah teknis normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.

Berdasarkan yang disiarkan suratkabar di Indonesia, dalam perbincangan kedua negara, pihak Tiongkok tegas mempertahankan sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan bukan Republik Rakyat Cina, karena istilah Cina mengandung pengertian menghina. Tapi pihak pemerintah Indonesia bertahan dan berpendapat masalah istilah ini di luar agenda yang diperbincangkan. Secara tegas dan keras mempertahankan penyatuan dan keseragaman istilah yang digunakan internasional adalah satu pendirian ilmiah yang tepat.

Pada tahun 1994, ketika Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, J. Juwana mengunjungi Universitas BeiJing mengungkap peristiwa yang terjadi: Pada saat beliau menyerahkan Surat Kuasa Negara pada Presiden Tiongkok, surat kuasa semula menggunakan sebutan Cina. Kontan saja Pemerintah Tiongkok menolak dan mengembalikan surat kuasa itu. Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok terpaksa mengirim kembali Surat Kuasa itu ke Jakarta, untuk merubahnya dengan ejaan bahasa Inggris China dalam sebutan Tiongkok, barulah surat kuasa itu diterima.

Majalah Indonesia dan Asian (No-111, Juli 2000) dalam reportase wawancara dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Chen Shi Qiu mengenai masalah Cina, Duta Chen secara tegas menandaskan: Kebencian rakyat Tiongkok terhadap sebutan Cina ada sebab sejarahnya. Rakyat Tiongkok mendengar sebutan Cina menjadi terkenang pengalaman pahit yang terhina dan tersiksa yang dialaminya selama penjajahan imperialis-Jepang. Sebutan Cina sangat melukai perasaan rakyat Tiongkok. Sebelum tahun 1967, di Indonesia selalu menggunakan sebutan Tiongkok, begitu juga bahasa yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, setelah dikeluarkannya Ketetapan Presiden dan Presidium Kabinet ditahun 1967, merubah sebutan Tiongkok jadi Cina.

Sudah tentu ini adalah tindakan yang sangat tidak bersahabat terhadap Tiongkok. Pada saat normalisasi hubungan diplomatik kedua negara di tahun 1990, kedua belah pihak juga sudah mencapai kesepakatan resmi, semua dokumen pemerintahan Indonesia menggunakan sebutan China untuk Tiongkok, dan tidak lagi menggunakan Cina.
Tetap sangat disesalkan, sampai saat kini masih saja sementara aparat pemerintah dan surat kabar tertentu tetap saja menggunakan sebutan Cina. Kami sangat mengharapkan mereka bisa bertolak atas dasar menghormati perasaan Rakyat Tiongkok, memperbaiki sebutan yang salah itu, dan dengan demikian bisa memainkan peranan secara aktif meningkatkan persahabatan rakyat kedua negara.

O Reaksi orang Tionghoa dirantau.
Orang-orang Tionghoa kelahiran Indonesia sebelum tahun 60 abad 20, umumnya mengerti adanya perbedaan makna dari dua sebutan Tiongkok dan Cina itu, bahkan mereka merasakan sendiri kepahitan sejarah ketika itu.

Seorang pelajar Leo Suryadinata (Liao Jian Yi) di Singapore menyatakan: Sebutan Cina bagi orang Tionghoa kelahiran Indonesia adalah mengandung arti penghinaan. Juga pelajar Indonesia, Li Tik Tjing menyatakan: Di Asia Tenggara, terutama bagi peranakan Tionghoa dan Hakiao di Indonesia, setelah mereka berhubungan dengan bangsa Melayu, merasa terhina kalau mereka menyebutkan Cina untuk Tiongkok dan Tionghoa.

Li Tik Tjing pada tahun 1988 di majalah Vista No27, ketika menjawab pertanyaan wartawan, juga tetap mempertahankan pendapatnya sampai saat kini didalam bahasa Indonesia Cina¡ bermakna penghinaan. Kami berpendapat, yang dimaksud orang Tionghoa kelahiran Indonesia (baik peranakan Tionghoa maupun Huakiao) oleh Leo Suryadinata dan Li Tik Tjing, pada pokoknya adalah orang-orang Tionghoa Indonesia yang lahir sebelum tahun 60. Siauw Giok Tjhan dalam bukunya Lima Jaman juga secara jelas menunjukkan Pemerintah Suharto sengaja merubah Tiongkok jadi Cina untuk menghina
Tiongkok.

Wartawan Oei Liong Thai, peranakan Tionghoa yang pada tahun 70-an menetap di Belanda juga berkali-kali menunjukkan: Yang tepat adalah Tionghoa dan seharusnya mencampakan Cina. Beberapa tahun terakhir ini, kami berkesempatan mengunjungi Indonesia, Eropa dan juga di Bei Jing sendiri ketika bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang tua dan setengah baya Tionghoa, pada umumnya mereka tidak menggunakan Cina dalam menyebut Tiongkok, sudah barang tentu pada masa kekuasaan Soeharto di depan umum dan dalam tulisan resmi, mereka terpaksa harus menggunakan juga istilah cina itu. Bisa dimengerti, demi keselamatan mereka sendiri. Kami juga tidak menyangkal di antara orang tua Tionghoa ada juga yang mengambil sikap tidak apa-apa dengan sebutan cina, tetapi mayoritas orang Tionghoa tidak bisa menerimanya.

Bagi orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 60, karena tidak mengerti latar belakang sejarah kedua istilah itu, ditambah sebagai satu ketentuan resmi pemerintah Soeharto mencekokinya melalui Radio, TV dan media pers dengan menggunakan istilah Cina dalam menyebutkan Tiongkok, dan mayoritas mereka dalam menyebut Cina juga tidak bermaksud menghina, maka akhir-akhir ini pemuda-pemuda Tionghoa dari Indonesia yang melancong ke Tiongkok juga menjadi sedikit yang menggunakan istilah Tiongkok.

Perlu ditekankan disini, sekalipun di Malaysia dan Singapura dalam bahasa Melayu mereka menyebut Tiongkok dengan China, orang Tionghoa setempat dan peranakan Tionghoa sebagai Keturunan Cina, menyebutkan suku Tionghoa sebagai Kaum Cina, tetapi tidak sedikitpun mengandung pengertian menghina.

Ini disebabkan karena di Singapore dan Malaysia tidak pernah terjadi peristiwa politik yang sengaja merubah sebutan Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina untuk menghina Tiongkok dalam rangka politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1967. Ketika kami mengunjungi Singapore dan Malaysia, mendapatkan pengertian bahwa istilah Cina tidak bermakna penghinaan bagi orang Tionghoa dan Huakiao di Singapore dan Malaysia. Jadi, sungguh berbeda dengan latar belakang khusus dan sejarah khusus yang terjadi di Indonesia, yang tidak bias diragukan lagi, bahwa sementara orang Indonesia justru sengaja menggunakan istilah Cina ini untuk menghina Tiongkok dan orang Tionghoa.

REAKSI DARI PRIBUMI INDONESIA
Harian Kompas 28 April 1967 memuat surat Mochtar Lubis, seorang wartawan dan penulis
ternama, di dalam surat itu menandaskan bahwa penggunaan istilah Cina setidaknya telah melukai perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia. Surat kabar Sinar Harapan tertanggal 3 Mei 1967 juga telah memuat surat seorang pembaca, Alexsander yang menyatakan: Kami bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak seharusnya melukai perasaan suku bangsa lain, jadi sudah seharusnya menghentikan penggunaan istilah Cina.

Bahkan di dalam intern Angkatan Darat juga ada orang yang menentang digunakannya istilah Cina. Mereka mengatakan: Seandainya tindakan demikian itu mengakibatkan kehilangan simpatik orang Tionghoa di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, maka akan mengancam kestabilan rencana ekonomi dari kabinet. Seandainya tujuan kita adalah meng-hina Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, perubahan penggunaan istilah Cina itu tidak akan mencapai tujuan, karena yang lebih dahulu terkena, merasa terhina dan terlukai perasaannya adalah orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara terutama di Indonesia.

Harian Angkatan Bersenjata tanggal 8 Agustus 1967, memuat tulisan Jauhari Achmad, yang mencoba memberikan penjelasan dan pembelaan atas penggunaan istilah Cina. Dia menyatakan digunakannya kembali istilah Cina bisa secara cepat mendapatkan sambutan secara luas, membuktikan bahwa istilah itu sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Penulis menyangkal bahwa istilah Cina mengandung arti penghinaan. Dikatakan Selanjutnya, seandainya bermakna penghinaaan, itu juga dibuat oleh masyarakat orang Tionghoa sendiri. Kesensitifan orang Tionghoa dalam masalah ini berhubungan erat dengan sikap dan tindakan mereka dibidang perdagangan. Sikap dan tindakan mereka itu justru yang melukai perasaan pribumi Indonesia.

Di bawah tekanan keras dari pemerintah Soeharto setelah tahun 1967, sebagian besar pers-surat kabar menyebutkan Tiongkok dengan Cina, hanya sebagian kecil saja, seperti Harian Merdeka pernah bertahan menggunakan istilah Tiongkok dalam jangka waktu cukup lama. Kamus Besar Indonesia terbitan Departemen Pendidikan cetakan tahun 1988, tidak lagi bisa ditemukan istilah Tiongkok dan Tionghoa. Yang ada hanyalah Cina yang berarti 1. satu negara besar di Asia; 2. Suku bangsa yang tinggal di negara itu. Dan dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan Republik Rakyat Cina. Kecuali itu, ada juga sementara politikus dalam pembicaraan dan tulisannya sekaligus menggunakan Cina dan Tiongkok.

Sampai pada tahun 1997, dikeluarkannya Kamus Umum Mandarin – Indonesia terbitan Universitas Indonesia, juga tidak terdapat istilah Tiongkok, yang ada hanya kata Zhong Hua diterjemahkan jadi Tionghoa. Sedang dalam penjelasan tambahan ke-13 kata Zhong Guo diterjemahkan jadi Cina dan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo diterjemahkan jadi Republik Rakyat Cina. Inilah akibat politik anti Tiongkok dan anti Tionghoa yang telah merasuk dan meluas dijaman pemerintahan Soeharto.

Sungguh sangat menggembirakan kita, perkembangan reformasi dan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini telah membawakan suasana baru. Pada saat Abdurrahmad Wahid menjabat Presiden Indonesia di akhir tahun 1999, pejabat-pejabat resmi pemerintahan mulai menggunakan lagi istilah Tiongkok dan Tionghoa menggantikan Cina. Presiden Wahid sendiri memelopori dalam kata sambutannya menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa.

Penulis ketika mengunjungi Indonesia pada Agustus 2000, sahabat-sahabat lama menjelaskan pada penulis, bahwa Presiden Wahid di dalam laporan kerja pemerintah bulan Agustus itu, sudah secara tegas menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan tidak lagi menyebut Republik Rakyat Cina. Tentu ini adalah satu berita yang sangat menggembirakan. Dalam laporan lain, yang pada saat kini menjabat wakil Presiden, Megawati bahkan merasakan dirinya bangga bisa menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa lagi. Pada tahun 1998 di depan rapat massa di Jawa Timur, Megawati bahkan pernah mengatakan: “Sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya.”

September 1999, Konsulat Indonesia di Hong Kong ketika mengucapkan Selamat 50 Tahun Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan pada bulan Juni 2000 dalam rangka memperingati 50 tahun Hubungan Diplomatik RI-RRT, beliau juga sudah menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa, tidak lagi Cina. Agustus 2000, ketika Wakil Presiden Tiongkok Hu Jin Tao mengunjungi Indonesia, Duta Besar Indonesia di Tiongkok, Kuntara yang menyertai delegasi, dalam setiap siaran pers dan pembicaraan di depan umum, beliau menggunakan istilah Republik Rakyat China.

Mayoritas yang dinamakan pribumi Indonesia bisa mengerti, demi menghormati dan tidak melukai perasaan rakyat Tiongkok dan peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia, mereka bisa tidak menggunakan sebutan Cina lagi, tapi kembali menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa. Tetapi, karena penggunaan istilah Cina yang dipaksakan itu sudah berlangsung dan terbiasa selama puluhan tahun, tidaklah aneh kalau akhirnya sudah menjadi sebutan sehari-hari. Dan dengan demikian kitapun tidak perlu terlalu kecewa dan pesimis.

Sayapun yakin, mayoritas mutlak mereka tentunya tidak ada maksud untuk menghina dan melukai perasaan rakyat Tiongkok, dan bias bersahabat bagaiakan sesaudara dengan peranakan Tionghoa yang sudah hidup turun temurun di Indonesia. Kita harus bisa sabar melancarkan propaganda dan menanti kesediaan mereka merubah sebutan yang tidak tepat itu.

5. Beberapa alternatif penyelesaian
Sementara ini paling sedikit ada 3 cara penyelesaian. Pertama terus menggunakan istilah Cina dalam menyebut Tiongkok; Kedua, mengubahnya kembali dengan sebutan Tiongkok; dan Ketiga, menggunakan ejaan bahasa Inggris China. Kecuali itu, ada juga sementara orang mengajukan untuk menggunakan istilah Zhongguo (seperti yang diajukan wartawan Oei Liong Thai, Tionghoa asal Indonesia yang telah menentap di Belanda) atau Caina, dll.

Tetapi, pendapat penulis sebutan yang lebih tepat dan ilmiah seharusnya adalah Republik Rakyat Tionghoa. Yang pasti kami tidak bisa menerima sebutan Tiongkok sebagai Cina. Sebagaimana pada tahun 1967 pemerintah Soeharto memaksakan perubahan Tiongkok menjadi Cina dengan alasan:
1. Untuk menghilangkan rasa rendah diri yang ada pada kaum pribumi dan menghapus rasa superior dari orang Tionghoa dan Hakiao di Indonesia;
2. Pemulihan istilah yang umum digunakan didalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok;
3. Keseragaman bahasa yang digunakan dalam sebutan terhadap Tiongkok.

Kami mengambil sikap menentang dan mengkritik alasan yang diajukan pemerintah Indonesia itu. Seperti yang telah dijelaskan terdahulu, masalah sebutan terhadap negara kami adalah masalah prinsip yang menghargai Tiongkok sebagai negara. Jadi, seharusnya diatas dasar pengertian inilah kita melanjutkan mendalami pengertian dan berdiskusi. Sebenarnya istilah Cina adalah istilah yang netral. Tetapi, dalam sejarah Indonesia, imperialisme penjajah-Belanda justru menggunakan istilah Cina itu untuk menghina Tiongkok.

Pada awal abad 20 gerakan pembebasan nasional rakyat Asia makin memuncak, orang Tionghoa Indonesia yang revolusioner mendirikan Tionghoa Hui Kwan, yang tegas menentang kaum penjajah menggunakan istilah Cina yang bermakna menghina itu dan menggunakan sebutan Tiongkok. Terutama setelah Revolusi Xing-hai yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen tahun 1911 berhasil menggulingkan Dinasti Qing, dan dibentuknya Republik Tiongkok, orang Tionghoa di Indonesia secara resmi menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa, sebagai satu pernyataan penghargaan dan perasaan menghormati hasil kemenangan rakyat Tiongkok, sekaligus juga perasaan bangga sebagai turunan berkulit-kuning. Jadi, sekali-kali bukan sesuatu perasaan superior terhadap pribumi Indonesia yang dituduhkan sementara orang.

Sedikitpun juga tidak beralasan kalau dinyatakan bahwa penggunaan istilah Tiongkok membuat rasa rendah-diri pada pribumi Indonesia. Ambillah Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno sebagai pejuang besar melawan imperialisme dan kolonilaisme sebagai contoh (bahkan yang oleh pemerintah Soeharto sendiri, Soekarno pada 8 Nopember 1986 dinobatkan sebagai Pahlawan Bangsa), baik jauh sebelum maupun setelah kemerdekaan, beliau selalu menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan negara kami, tidak sekali juga beliau menggunakan istilah Cina atau Tjina. Ini adalah sikap agung Soekarno, yang bisa menghargai dan menghormati Sun Yat Sen dan rakyat Tiongkok dan menjadikannya teladan berevolusi bagi dirinya sendiri. Adalah juga Soekarno yang telah menempatkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai kawan seperjuangan rakyat Indonesia dalam melwan imperialisme dan kolonialisme.

Dengan sebutan Tiongkok pada Zhongguo itu, apakah bisa dikatakan Soekarno telah menempatkan nasion Indonesia rendah-diri? Tentu saja tidak! Apa yang dikatakan Pemulihan istilah yang umum digunakan di dalam dan diluar Indonesia dengan berbagai bahasa dalam sebutan Tiongkok dan rakyat Tiongkok. Umum mengetahui, bahwa bahasa yang digunakan di dunia internasional, dalam bahasa Inggris menyebut Tiongkok dengan China, dan jelas istilah Cina dalam ejaan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah yang berlainan. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa Inggris, dan dalam jangka waktu panjang didalam bahasa Indonesia juga sudah menggunakan istilah Tiongkok dalam menyebutkan Zhonggou dalam lafak Hokkian. Jadi, adalah juga tidak beralasan perubahan penggunaan istilah Cina dalam sebutan Tiongkok untuk keseragaman bahasa yang dipakai internasional.

Keseragaman sebutan istilah untuk Zhongguo, juga tidak masuk akal. Belasan tahun sebelum tahun 1965, di Indonesia dari atas sampai ke bawah semua menyebut Tiongkok untuk Zhongguo, dan bukan Cina (Tjina). Baru setelah tahun 1967, dilancarkan gelombang anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa oleh pemerintah Suharto, digunakanlah istilah Cina untuk mengganti istilah Tiongkok dan Tionghoa. Yang jelas adalah bermuatan politik dan bukan untuk keseragaman bahasa dan istilah!

Bagi Indonesia, penggunaan istilah bahasa Inggris China untuk menggantikan sebutan Tiongkok masih lebih baik ketimbang sebutan Cina. Karena China bersifat netral sedang Cina bermakna menghina. Tetapi, dalam ejaan baru bahasa Indonesia tidak ada bunyi ejaan dengan Ch, jadi kurang selaras seandainya memaksakan istilah bahasa Inggris China ke dalam bahasa Indonesia.

Ini kalau sekadar kita tinjau dari segi bahasa. Tapi, kalau kita mau meng-Indonesiakan nama Zhongguo dari bahasa Inggris, mengapa tidak meng-Indonesiakan nama-nama negara Amerika, Inggris, Perancis, Belanda dll negara juga dari bahasa Inggris? Sebagai satu langkah keseragamanan bahasa dan istilah?

Sejak Soeharto naik tahta di tahun 1967 merubah penggunaan istilah Tiongkok menjadi Cina, dan setelah Soeharto lengser di tahun 1998 berarti istilah Cina telah berlangsung lebih dari dari 30 tahun di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan di kalangan generasi muda masyarakat Tionghoa juga sudah menjadi biasa dengan penggunaan istilah Cina itu. Tentu adalah sesuatu yang tidak realis, seandainya sekarang juga setelah dipulihkannya hubungan diplomatik kedua negara RI-RRT, istilah Cina dihilangkan secara keseluruhan.

Di akhir tahun 60-an, dimulainya kekuasaan Soeharto, penerbitan di Indonesia dan macam-macam peta-Atlas sampai pada sebutan Laut Tiongkok Selatan, untuk merubah jadi Laut Cina Selatan juga memerlukan proses. Sedang dilihat dari Hukum, karena perubahan penggunaan sebutan Tiongkok jadi Cina adalah keputusan Presidium Kabinet ditahun 1967, maka sudah seharusnya kita juga harus menunggu pencabutan penggunaan sebutan Cina dari Presidium Kabinet yang akan datang.

Pelurusan masalah yang terjadi didalam masyarakat atas kesalahan sebutan terhadap nama negara kami, Zhongguo bukanlah sesuatu yang bias diselesaikan bagaikan hilangnya embun dipagi hari. Tetapi, dari pandangan sejarah dan titik tolak persahabatan rakyat kedua negara yang harus saling menghargai dan menghormati, kami berhak menuntut pihak Pemerintah Indonesia untuk segera kembali menggunakan sebutan Tiongkok dan untuk sebautan lengkap menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Sebagaimana tertulis di atas penandatanganan perjanjian pembukaan hubungan diplomatik kedua negera Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia di tahun 1950.

Sejarah telah mencampakan kekuasaan Soeharto yang bersikap tidak bersahabat pada rakyat Tiongkok, gerakan demokrasi dan reformasi terus bergulir meningkatkan nasionalis dan persahabatan yang harmonis antar suku. Masyarakat Tionghoa di Indonesia juga telah meningkat kesadarannya, secara inisiatif mengajukan agar pemerintah memperhatikan setiap masa sejarah sebutan terhadap kelompok suku-Tionghoa di Indonesia.

Mayoritas peranakan Tionghoa di Indonesia yang lebih suka dipulihkannya kembali sebutan Tionghoa, mereka tegas menentang sebutan Cina, karena sebutan Cina yang mengandung penghinaan itu sangat melukai perasaan mereka.Tuntutan demikian ini adalah satu tuntutan yang wajar, dan tentunya sangat bermanfaat untuk memperkokoh kerukunan dan persatuan nasional, sangat menguntungkan bagi usaha mendorong maju ketentraman dan kemakmuran masyarakat Indonesia.*


* Oleh: Prof Kong Yuan Zhi
Universitas BeiJing
BeiJing, Oktober 2000

Tempayan Retak

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang pada bahunya.
Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh, maka tempayan retak hanya setengahnya saja.
Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya.
Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya.
Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air. "Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu."
"Kenapa?" tanya si tukang air,
"Kenapa kamu merasa malu?"
"Selama dua tahun ini, saya hanya mampu membawa setengah porsi air dari yang seharusnya. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi," kata tempayan itu.
Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak. Dalam belas kasihannya, ia berkata, "Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."
Benar, ketika mereka naik ke bukit, Si tempayan retak memperhatikan Dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan. Hal itu membuatnya sedikit terhibur.
Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan si sisimu, tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu. Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya.
Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu. Setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air,
Kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."

Setiap dari kita memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah tempayan retak. Namun jika kita mau, Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias-Nya.
Di mata Tuhan yang bijaksana, tak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekuranganmu. Kenalilah kelemahanmu dan kamu pun dapat menjadi sarana keindahan Tuhan. Ketahuilah, di dalam kelemahan kita, Kita menemukan kekuatan kita.

Unknow