Nidji, Dewa dan Blues Community
Malam sudah mendekati pukul 21.00 saat Siemen kecilku berbunyi. Di layarnya yang masih seri biru, temanku memanggil.
“Djeunk, lu udah tidur blum? Maen ke Hard Rock yuk,” ajaknya dari kejauhan. “Baliknya, gue nginap di tempat lu,” tambahnya lagi.
Ngga nyampe 15 menit. Siemen gue berdering lagi. “Gue udah di depan,” ujarnya mengabarkan.
Lalu, mulailah petualangan (musik) malam itu….
Sumpah, saat diajak ke Hard Rock, aku pikir cuma ngajak nongkrong biasa. Ngga taunya nonton konser Nidji dan Dewa. Dengan harga tiket Rp80 ribu perorang, kami (saat itu bertiga) disambut celotehan penyanyi Nidji.
Meski sudah mulai jadi band top, tapi aku ngga tahu siapa itu Nidji. (Apakah seperti makanan kaleng?) Tapi, lagu-lagu yang dibawakan terdengar enak (tapi tak membuatku mencari tahu siapa mereka dalam penjelajahan di internet). Musik yang mereka bawakan terdengar akrab. Namun bukan berciri khas Indonesia. Di daun telinga, aku seperti mendengar musik-musik khas Eropa. Inggris tepatnya.
Dengan enam personelnya, Nidji berhasil membuat suana ceria. Mereka tampil baik, meski aku tak mengenal siapapun di antara mereka. Yang jelas aku suka sekali. Hmmm, tapi tak terlalu ding… hehehehe.
Setelah berkutat dengan 5-8 lagu, Nidji berakhir. Kini Dewa yang tampil. Sayangnya, malam itu Dewa minus Tio yang sedang sakit. Once, si vokalis lalu memperkenalkan sebuah nama yang tak bisa kuingat. Namun, drummer pengganti Tio tersebut lumayan. Tapi dia freelance, soalnya dia drummer Erwin Gutawa.
Konser Dewa sendiri diawali dengan sebuah klip yang katanya Dani merupakan klip baru mereka yang akan diputar di Hard Rock seluruh dunia. Hmmm. Wow. Klip yang berjudul I Want to Break Free tersebut jauh dari sisi Dewa yang biasa tampil dengan lagu-lagu cinta. Musiknya cadas dan berat. Meski tak bisa dikatakan beraliran hardcore, namun musiknya lebih keras dari biasanya. Tapi, tetap saja suara Once terlalu tipis untuk musik sekeras itu.
Setelah itu, Siti Nurbaya didendangkan, kemudian Laskar Cinta dan bla-bla. Entah karena memang bukan Baladewa atau sekadar pengemarnya Dewa, aku ngga terlalu bergairah berjoget dan bernyanyi. Yang ada malah ngantuk. Teman yang ngajak ke sanapun malah duduk. “Kog jadi ngantuk yaah,” ujarnya. Lalu, sebelum konser Dewa usai, kami memutuskan pergi. Saat itu pukul 23.30. Cukup larut untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang, ternyata aku ditawari nongkrong lagi. So…”Ya udah, gue ngikut aja,” kataku. Kamipun berputar-putar kota sambil mencari inspirasi, ke mana sisa malam akan dilewati. “Kita ke Wapress saja,” ujar temen yang laen. Karena belum tahu, akupun setuju.
Wapress merupakan sebuah kafé dan berada di bilangan Blok M Jakarta Selatan. Menepati di pinggir jalan, kafe ini sebenarnya tertutup dan terkesan seperti rumah biasa. Namun, begitu masuk ke dalamnya, sangat luar biasa. Kafe ini ternyata adalah kafenya tempatnya nongkrongnya pecinta blues music. Mereka adalah komunitas non profit. Untuk masuk kafe, tidak dikenakan bayaran. Pengunjung boleh memesan soft drink, atau tidak sama sekali.
Malam itu kami benar-benar beruntung. Yang maen adalah ikon blues-nya Indonesia. Rama namanya. Dia masih muda. Perkiraanku masih sekitar 25-30 tahun. Namun, dia dijadikan ikon musik blues, karena dia memang penggila blues. Awalnya, aku tidak tahu siapa dia. Namun cara dia memainkan gitar, terlihat dia adalah pemain kelas dunia. Duh, yang jelas habis melihat Nidji dan Dewa, bisa dikatakan dua grup band itu masih picisan.
Lalu yang hebatnya lagi, ternyata seluruh personel merupakan personel cabutan. Siapa yang bisa nyanyi silakan mau, mau maen drum, bass, keyboard, gitar tak ada yang larang. Kenapa dibilang hebat, soalnya mereka manggung tanpa latihan. Mereka berimprovisasi di atas panggung. Namun hasilnya luas biasa. World Class Music. Im Sure. Sebab, ngantuknya jadi ilang dan kami sangat menikmati pertujukkan itu.
Tak lama berselang, seorang lelaki yang agak gendut dan berambut grondrong, namun face mirip Rama masuk. ”Selamat datang Arya,” ujar MC membuat semua pengunjung mengalihkan perhatian. “Bagi yang belum tahu, Arya merupakan pemain keyboard blues terbaik. Dia pernah main bareng James Brown,” katanya. Haaaaah? James Brown kan salah satu ikon blues dunia. Geblek euy, im lucky to much. Very-very lucky. Not man happy like me last night.
Karena kelas dunia, permainan yang dibawakan juga sangat memukau. Permainan keybordnya sangat dasyat. Aku pikir Rama sudah Ok punya, tapi Arya lebih wooooow. Namun, perpaduan keduanya di atas panggung begitu…hmmmm, kalah deh konser yang gue tonton sebelumnya. Dari lagu-lagu blues yang dibawakan, hingga dentingan gitar, drum, bass dan keyboard seakan-akan menunjukkan mereka sudah lama bergabung. Nyatanya, mereka tidak latihan bareng. Sayang, karena harus bekerja, pukul 02.00 dini hari, kami sudahi pertunjukan hebat petualangan malam itu. Lalu, kamipun pulang.
Di dalam lancer yang membawa aku ke kos di Kedoya, aku diberitahu hal yang mengagetkan. Tenyata Rama dan Arya itu saudara kandung. Kaget meski mengaku wajar, sebab muka keduanya mirip. Menurut temenku tersebut, dengan beraliran musik blues, Rama plus seorang adiknya yang laen yang memukul drum, mereka membentuk sebuah grup musik. Namun, karena pasar blues di Indonesia sangat tidak meyakinkan, mereka rekaman dan menjual musik mereka di Paman Sam. “Memang, bapak mereka bule. Orang Amrik,” ujar temenku menjelaskan wajah Indo Rama dan Arya malam itu.
Lalu cerita soal Rama dan bandnya mengalir, mengalir dan mengalir. Sungguh aku tak puas dengan cerita tersebut. Aku sangat menikmati musik yang mereka bawakan. Aku, aku akan ke sana lagi, ke Wapress yang menjadi mangkalnya pencinta blues. ”Tapi, jarang-jarang Rama dan adiknya manggung. Satu tahun satu kalipun belum pasti,” info temenku lagi. Hmmmm…im lucky.
Andy
(Masih ngantuk akibat begadang semalam)