Monday, May 30, 2005

Me and my Girl's (1)

Apakah ini sebuah tragedi?
Apakah aku harus tertawa gembira, meloncat-loncat kegirangan?
......atau bersedih?

Tapi, yang jelas ini baru pertama kalinya terjadi. Aku dan 4 perempuan!
Man, gila. Sengaja aku bukan dengan pertanyaan. Apakah ini sebuah Tragedi.
Soalnya, ini kasus baru pertama kali terjadi.
Bayangkan, aku dan 4 perempuan saling bercinta.
Jangan tanya bagaimana aku membagi waktu. Aku juga bingung. Tapi, aku bisa dan aku jalani.
Hebatnya, 3 perempuan tersebut aku kenal dalam waktu bersamaan.
Hebatnya lagi, perempuan-perempuan itu tau, kalo aku punya perempuan lain selain diri mereka.

The Story
Perempuan pertama aku kenal tahun lalu. Tak sengaja, cuma dari salah nomor. Saat itu, dia ngebel, nanyain, "Ini siapa?". "Lho, kamu siapa," kataku. Dia sebut nama, aku sebut nama dan kami sama-sama tau. INI TELEPON SALAH SAMBUNG.
Tiiiiit. Berakhir.
Lalu, kira-kira 3-4 hari lagi dia SMS lagi. She's say...."Aku perlu temen ngobrol. Aku mau curhat. Paling enak curhat ama orang ga' dikenal. Mau ngedengar ga"
Hmm..., SMS-nya dini hari, sekitar jam 3-4 subuh. Because dat my free time, aku jawab OK.
Aku lupa soal apa, yang pasti, saat aku kasih nomor flexiku, dia langsung nelpon. Kalo tidak salah soal pacarnya yang pindah keluar kota dan ga tau kapan kembali.
Saking seringnya nelpon, aku akhirnya penasaran. Makanya, wajar jika suatu saat, ketika dia udah nelpon berkali-kali, aku minta ketemu.
Kami atur waktu, dan....
Jangkung...
Itu kesan pertama kali aku bertemu dengannya.
Wajah lumayan. Bodi...wajar seperti cewek-cewek jangkung lainnya. Agak kurusan.
She nice. Aku suka candanya.
Entah kapan mulainya, yang jelas, dia sudah jadi my girl. Hingga sekarang?

Cewek kedua, besok klo ada mood

Djeunk
an, terjadilah cerita seperti di roman.

Wednesday, May 25, 2005

SOMASI

Seperti biasa, kepada si Calon Wartawan baru yang mulai magang, aku selalu mendoktrin kebenaranku. Sebuah kebenaran yang sudah lama aku jaga. Meski, cuma 1 dari sepuluh wartawan itu yang kelak menerapkannya.

Doktrin atau hal yang perlu kutanamkan kepada rekan-rekan wartawan yang masih tak berdosa adalah cara menulis berita yang baik, yang kurasa tidak terlalu muluk dan wajib diketahui. Apalagi, dari sebuah survei, cuma sekian persen saja wartawan baik yang pemula maupun senior yang tahu 100 persen kata baku bahasa Indonesia.

Biasanya, hari pertama saat bertemu mereka--tentunya mereka sudah tahu 5 W + 1 H--aku akan mendoktrin bagaimana membuat sebuah berita yang baik. Aku katakan, sebuah berita yang "OK" adalah berita naik cetak sama persis dengan apa yang ditulis oleh penulisnya. Artinya, tentu saja berita itu penulisannya sudah sesuai dengan ejaan, balance, menarik, dan lain-lainnya sesuai tertib laporan peristiwa media cetak.

Kedua, setelah naik cetak, tak ada protes terhadap berita tersebut!. Doktrin yang kedua ini memang sangat susah diterapkan. Meski si penulis sudah menuliskan beritanya seimbang (balance), namun, selalu saja ada protes dari narasumber. Namun, bagiku, asal faktor keseimbangan sudah dilakukan, tak ada yang ditakuti.

Dan....

Datanglah kejadian ini. Tanpa terlebih dahulu menggunakan hak jawabnya, seorang narasumber menyomasi kami. Duh....

Ceritanya, dia ditanya oleh wartawan lewat telepon tentang keberangkatan sebuah tim pansus ke luar kota. Namun, karena si narasumber tidak diberitahu, maka, si narasumber menjawab tidak tahu. "Saya tidak mengetahui ke mana saja mereka mengadakan kunjungan, dan apa yang mereka lakukan. Soalnya hanya mereka saja mengetahui," katanya saat dikonfirmasi.

Lalu, beritapun ditulis, diedit, dilayout, diperiksa, diprint, diperiksa lagi, (diprint kembali jika ada salah), dimountase, diplat-maker, dicetak, dijual dan DISOMASI.

Kaget? Iya. Seingatku, ini kali pertama kalinya kami disomasi. Bingung? Iya. Aku bingung, dia menyomasi kami atas apa? Katanya tak pernah menyatakan hal demikian, namun, mengaku benar sudah ditelepon!

Mau tau somasinya? Kami diminta meminta maaf pada tiga harian berturut-turut selama tiga hari, mengklarifikasi berita dan meminta manajemen menghukum si Penjab Redaksi atau diselesaikan secara hukum. Asal tahu, di sini tak ada pemred dan wapemred. Sebab semuanya non-aktif. Jabatan tertinggi yang menjadi penanggung-jawab operasional hanya dipegang Redpel dan aku si Redaktur. :(

=> Untuk meminta maaf, kami bingung. Untuk apa? Untuk kesalahan yang tidak pernah kami buat? Atau untuk harga diri si narasumber tersebut?
=> Untuk mengklarifikasi? kami bersedia. Kemudian, beberapa wartawan, baik si penulis berita maupun wartawan sesepuh kami kirim. Hasilnya? Si penulis berita diusir, dan wartawan sepuh cuma diajak main biliar. Tanpa mengomongkan soal Somasi tersebut. Ditelepon? boro-boro deh.
=> Menghukum Penjab Redaksi? Aku bilang ke manajemen. Jika aku dinyatakan salah, aku siap dihukum. Tapi, jangan pernah meminta aku meminta maaf. Karena tak ada kesalahan dalam penulisan tersebut.

Biarlah, hukum yang berbicara.

Djeunk

Thursday, May 19, 2005

Ladies

Namanya Icha. Lengkapnya? dia nggak mau ngasih tau!
Tinggi sekitar 165-168 Cm. Itu kira-kira. Soalnya, waktu kenalan, hak sepatunya lumayan menjulang. Aku yang setinggi 170 Cm, seakan seimbang.
Putih, rambutnya panjang sebahu dan harum shampoo yang belum pernah aku cium sebelumnya, membuat aku tertarik. Wajah seperti kata Iwan Fals, dapat poin enam.
Bodi? Hmmm, kata yang lain sih ok. Tapi, aku sendiri ngga peduli. Bagiku, karena dia bisa membuatku tersenyum sekitar 30 detik usai berjabat tangan, that's enough.
"Hai. Mas Andy yaa, aku Icha?," katanya memperkenalkan diri. (5 detik)
Bengongggggg. Gila!
Hooooooooooi DUNIA. Dengarkanlah. Adjeunk ini hari kejatuhan duren hutan berduri tumpul. (10 detik)
Syok........? Pasti! (20 detik)
Tapi cuma sebentar kog. Sumpah. Aku langsung beradaptasi dengan keadaan! (22 detik)
Lalu, "Iya, saya Andy. Ada yang bisa saya bantu," kataku. (25 detik)
"Hi..hi...hi. Ngga, aku pikir jenggotmu lucu," Icha tersenyum lepas. (29 detik)
Dan, mau ngga mau aku membalas senyumnya.
Sungguh. Dunia terasa aneh saat itu. Seakan aku bisa melihat Monas dari sana.
----------------------

Kejadian itu Selasa malam. Hmmm, tapi bisa juga dibilang Rabu dini hari. Meski, aku tahu, saat itu terasa waktu tak berputar. Namun, aku tetap bermemiliki senyum kembali setelah sekian lama keruh.
Hari itu, aku memang sudah berencana membunuh penat selama 7 hari bekerja, 20 jam sehari. Rasanya, pub dengan musik live-nya bisa menjadi cara yang ampuh. Paling tidak, itulah pilihan menarik, meski bukan pilihan terakhir untuk mengakhiri penat ini.
Bersama Kanca's yang udah biasa ke pub, aku digiring. Sementara mereka menjadi penunjuk jalan. Sampai di sana? liat-liat, duduk manis, pesen minuman dan...Astaga!!! Itukan Sofi. (Don't ask me, what she's last name). Sofi adalah temen tetap. Yang ngga mau aku ubah menjadi temen bermain dalam sebuah skenario seperti telenovela. Sofi juga berpikir sama.
Sofi, dengan mata bundernya yang antik plus alisnya yang tebal melotot. Entah kaget atau apa. Yang jelas, terlihat lucu. But she's smile for me, lalu melambai dan mengacungkan jempol. Kemudian... cuek lagi.
Sofi yang tak berubah setelah beberapa bulan tak bertemu.

------
30 Menit
60 Menit
90 Menit
Lalu...
"Hai. Mas Andy yaa, aku Icha?,"

------
Di kota ini, Icha mengaku baru 7 bulan. Bersama adiknya Rini mereka merantau dari sebuah rumah di Jl Cihampelas belakang STBA Bandung. Sangat berani. Icha dan Rini tak sendiri. Ada 3 lagi orang Bandung bersama mereka. Termasuk Sofi yang menginformasikan aku padanya. "Nyari duit," kata Icha menyebut alasannya meninggalkan Kota Kembang yang sejuk.
Perantauan ini, ujarnya mengawali cerita, adalah perantauan pertamanya. Dulu, jangankan untuk menyeberang pulau. Ke Cimahi atau paling jauh ke Jakarta, selalu ditemani ibu. "Tapi, aku berusaha menjaga diri. Paling tidak, aku tidak minum (alkohol), ngedrug apalagi seks."
Seberapa kuat? "Sekuat menjaga motivasi"
Tapi, lanjut Icha lagi, jangan khawatir. Meski aku bekerja menjadi Ladies. Aku ngga bo'ong ama Ibu. Ibu tau, tapi ibu minta tetap hati-hati.

--------
Pulang pagi itu, aku berpikir. Aku ingin menjaganya!
Lalu bagaimana Anggie?

lieur

Djeunk

Saturday, May 14, 2005

Surga

Tak ada yang abadi
Tapi bukan satu alasan untuk tidak meresapi
Siapa tahu dari sedikit kesempatan itu
Hidup lebih memaknai.
-------------

Tiga hari lalu. Hidup terasa berarti. Bagaimana rasanya menjadi yang diperlukan setelah sekian lama dianggap “Ada”, tapi tidak dirasakan.
Aku pikir, ini salah satu terindah dalam hidup. Bahkan, si-BOS, rela menunggu sebelum Batavia Air yang membawaku ke Sepinggan mendarat.
Tengak-tengok, kemudian saat melihat sekilas wajahku di antara penumpang yang berebut bagasi, BOS tergopoh-gopoh mendekat.
Sebenarnya, tak boleh selain penumpang yang mendekati ruang bagasi. Tapi, karena dia adalah si BOS, si ”RAJA” di daerah Kaltim. Yang lain pada nunut. Menundukan wajah dan muka tersenyum lebar tanda gembira melihat si BOS berkunjung ke bandara.
Hmmm……………
“Kamu udah makan blum,” tanya si BOS
“Sudah, tadi katering di pesawat,” kataku tanpa menyebutkan, bahwa aku cuma makan sebiji agar-agar.
Lalu, bagasiku datang. Si BOS bermaksud membawakannya. Tapi…………Aku memaksa. Soalnya kecil dan tidak terasa nyaman. Dijemput langsung pun, aku sudah merasa tak nyaman. Apalagi…!
-------
Setelah urus sana urus sini. Tidur di tilam yang empuk plus bau wangi dari AC yang mengantukan dengan perut kekenyangan. Surga hari pertama pun berlalu.
Hiks

Hari kedua, masih dilayani dengan sedikit wah. Tapi, saat tugas kompi dan tetek bengeknya selesai jam 8 malam. Maka…resmilah surga tersebut berakhir.

“BOS lagi ke Sulawesi, tiga hari lagi balik,” kata si cantik Nonik saat kutanyakan esok harinya alias tiga hari setelah aku berada di kota minyak

Aku tau, setelah yakin kerjaku usai, BOS langsung angkat kaki. Aku pikir, sebab kesibukannya yang tertunda, mungkin si BOS ingin mengebut semua pekerjaannya.

Lalu, kini, semua bawahan penjilat, kembali ke wajah aslinya. Tak ada lagi senyum, tak ada lagi keramah-tamahan, meski sekadar basa basi.
Malas, aku menghindar.

Hari ketiga, lebih banyak diisi di Gramedia. Cari Disc, baca-baca buku hingga memborong sebagian besar buku yang aku baca.

Hidup memang indah. Saat dibaca dari bebasnya penulis buku mengekspresikan diri. Hidup memang was-was. Jika melihat tampang satpam Gramedia yang curiga pada sosok bongsor yang bolak balik hingga 4 jam dari satu blok ke blok lain di Gramedia mencari buku-buku cantik dari pengarang se-jagad raya.

Hmmm…
Hari ketiga berlalu dengan penuh ilmu
Hari kedua berlalu dengan mempraktikan ilmu
Hari pertama masuk surga karena ilmu

Hari keempat? Back to…

Thanks God !

Andy

Tuesday, May 03, 2005

Dosa lagi

Seperti biasa, seminggu sekali menikmati libur setelah kerja rodi yang melelahkah dua hari sebelumnya.
Tapi, libur ini termasuk aneh. Why? soalnya, liburnya di hari pertama kerja dimulai. Iyaa, aku libur di hari Senin. Di hari Sabtu dan Minggu, aku kerja Rodi. Sebab, sebagian besar penjab halaman yang lainnya yang libur.
Awalnya mau protes. Sebab, kenapa yang udah married yang libur di akhir pekan. Tapi....., lama-lama dinikmati juga. Meski, tiap malam minggu, ngapelin komputer dan anak-anak layouter yang monyong nungguin beritanya udah diedit atau belum. Meski, si manis, si cinta, si sayang harus bersabar nggak diapelin.
Meski Senin adalah hari "merah", tapi tidak se-merah warna hari libur di kalender, Merah muda lah. ha ha ha ha. Senin malam aku tetap masuk. Ada dua halaman yang aku nggak percayakan pada orang lain. Pasalnya, pernah aku libur dan tidak masuk sama sekali. Akibatnya, itu halaman amburadul. Makanya, meski, aku menyempatkan masuk mengedit dua halaman sekitar 10-15 berita yang nggak terlalu memakan banyak waktuku. Masuk jam 8 malam, dua jam kemudian pasti kelar.
Kemarin malam (waktu blog ini ditulis malam Rabu), cuma itu satu-satunya kesempatan untuk bersantai. Usai mengedit dua halaman, aku diajak ngedugem. Duh, dunia ini udah ditinggalkan 5-6 tahun lalu. Seumur-umur, selama 4 tahun di Tarakan, baru kali ini masuk diskotik.
Awalnya, cuma pesan air mineral. Kemudian bir. Lalu !!! Kemudian...jingkrak-jingkrak kesetanan.
Apakah aku harus menyesal kenal dengan pak tentara itu atau memang aku yang.....

Djeunk...