Wednesday, May 25, 2005

SOMASI

Seperti biasa, kepada si Calon Wartawan baru yang mulai magang, aku selalu mendoktrin kebenaranku. Sebuah kebenaran yang sudah lama aku jaga. Meski, cuma 1 dari sepuluh wartawan itu yang kelak menerapkannya.

Doktrin atau hal yang perlu kutanamkan kepada rekan-rekan wartawan yang masih tak berdosa adalah cara menulis berita yang baik, yang kurasa tidak terlalu muluk dan wajib diketahui. Apalagi, dari sebuah survei, cuma sekian persen saja wartawan baik yang pemula maupun senior yang tahu 100 persen kata baku bahasa Indonesia.

Biasanya, hari pertama saat bertemu mereka--tentunya mereka sudah tahu 5 W + 1 H--aku akan mendoktrin bagaimana membuat sebuah berita yang baik. Aku katakan, sebuah berita yang "OK" adalah berita naik cetak sama persis dengan apa yang ditulis oleh penulisnya. Artinya, tentu saja berita itu penulisannya sudah sesuai dengan ejaan, balance, menarik, dan lain-lainnya sesuai tertib laporan peristiwa media cetak.

Kedua, setelah naik cetak, tak ada protes terhadap berita tersebut!. Doktrin yang kedua ini memang sangat susah diterapkan. Meski si penulis sudah menuliskan beritanya seimbang (balance), namun, selalu saja ada protes dari narasumber. Namun, bagiku, asal faktor keseimbangan sudah dilakukan, tak ada yang ditakuti.

Dan....

Datanglah kejadian ini. Tanpa terlebih dahulu menggunakan hak jawabnya, seorang narasumber menyomasi kami. Duh....

Ceritanya, dia ditanya oleh wartawan lewat telepon tentang keberangkatan sebuah tim pansus ke luar kota. Namun, karena si narasumber tidak diberitahu, maka, si narasumber menjawab tidak tahu. "Saya tidak mengetahui ke mana saja mereka mengadakan kunjungan, dan apa yang mereka lakukan. Soalnya hanya mereka saja mengetahui," katanya saat dikonfirmasi.

Lalu, beritapun ditulis, diedit, dilayout, diperiksa, diprint, diperiksa lagi, (diprint kembali jika ada salah), dimountase, diplat-maker, dicetak, dijual dan DISOMASI.

Kaget? Iya. Seingatku, ini kali pertama kalinya kami disomasi. Bingung? Iya. Aku bingung, dia menyomasi kami atas apa? Katanya tak pernah menyatakan hal demikian, namun, mengaku benar sudah ditelepon!

Mau tau somasinya? Kami diminta meminta maaf pada tiga harian berturut-turut selama tiga hari, mengklarifikasi berita dan meminta manajemen menghukum si Penjab Redaksi atau diselesaikan secara hukum. Asal tahu, di sini tak ada pemred dan wapemred. Sebab semuanya non-aktif. Jabatan tertinggi yang menjadi penanggung-jawab operasional hanya dipegang Redpel dan aku si Redaktur. :(

=> Untuk meminta maaf, kami bingung. Untuk apa? Untuk kesalahan yang tidak pernah kami buat? Atau untuk harga diri si narasumber tersebut?
=> Untuk mengklarifikasi? kami bersedia. Kemudian, beberapa wartawan, baik si penulis berita maupun wartawan sesepuh kami kirim. Hasilnya? Si penulis berita diusir, dan wartawan sepuh cuma diajak main biliar. Tanpa mengomongkan soal Somasi tersebut. Ditelepon? boro-boro deh.
=> Menghukum Penjab Redaksi? Aku bilang ke manajemen. Jika aku dinyatakan salah, aku siap dihukum. Tapi, jangan pernah meminta aku meminta maaf. Karena tak ada kesalahan dalam penulisan tersebut.

Biarlah, hukum yang berbicara.

Djeunk

0 Comments:

Post a Comment

<< Home